A. Hakikat Politik
Politik ialah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka
proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yan mengikat tentang kebaikan
bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu (Surbakti,
1999:11).
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
politik merupakan salah satu saran interaksi atau komunikasi antara pemerintah
dengan masyarakat sehingga apapun program yang akan dilaksanakan oleh
pemerintah sesuai dengan keinginan-keinginan masyarakat dimana tujuan yang
dicita-citakan dapat tercapai dengan baik.
Pengertian komunikasi kita
sederhanakan secara umum sebagai “hubungan”
atau kegiatan upaya interaksi antara manusia dengan lembaga dan dapat bersifat
langsung atau tidak langsung (melalui perantara/media), bisa bersifat verikal
atau horizontal.
11
|
Dari pendapat tersebut
dapat kita katakana bahwa politik merupakan sebuah sarana memperjuangkan
kekuasaan serta mempertahankan kedudukan politik demi tujuan yang ingin
dicapai. Menurut Kartono (1996:64) politik dapat diartikan sebagai aktivitas
perilaku atau proses yang menggunakan kekuasaan untuk menegakan
peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang sah berlaku ditengah
masyarakat
Dengan demikian
aturan-aturan dan keputusan tadi ditetapkan serta dilaksanakan oleh pemerintah
ditengah medan sosial yang dipengaruhi oleh kemajemukan/kebhinekaan, perbedaan
kontroversi, ketegangan dan koflik oleh karena itu perlu ditegakan tata tertib
sehingga tidak akan terjadi perpecahan antar masyarakat.
Lebih lanjut
Kantaprawira (2006:31) menjelaskan pengertian politik sebagai segala hal ihwal
kehidupan yang menyangkut negara atau tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara
maka oleh karenanya segala hal ihwal kehidupan manusia/masyarakat adalah
menjadi urusan politik, tidak ada yang tidak mampu untuk tidak berpolitik.
Sebagai perbandingan bersama
ini disajikan pengertian politik dari
segi lain yang dikutip dari oleh Pamudji (1998:34) :
Secara
etimologis politik dari bahasa yunani “Polis” yang artinya kira-kira sama
dengan kota (City) atau negara kota (City
state) dari Polis tadi timbul istilah
lain Polite artinya warga negara, politicos artinya kewarganegaraan,politike techne artinya kemahiran berpolitik, dan selanjutnya
orang-orang Romawi mengambil istilah tersebut dan menamakan pengetahuan tentang
negara itu sebagai arspolitica
(kemahiran tentang masalah-masalah kenegaraan)
Dengan demikian
jelaslah bahwa politik suatu istilah yang bersangkut paut dengan soal-soal
negara dan pemerintahannya.
Hal senada juga
diungkapkan oleh Morgethau (dalam www.docstoc.com) menyatakan “Politics is struggle for power” sedangkan sarjana Jerman Lare Loewenstein
menyatakan “Politiek ist nick anders als
der kamf um die Macth” dan orang Belanda menyebutkannya”Strijd om macht”.
Jadi pada hakekatnya
politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau masalah-masalah
pelaksanaan dan kontrol atas kekuasaan
Ada beberapa definisi
mengenai pendidikan politik yang dikutip oleh Kartono, (1996:64) sebagai
berikut:
1.
Pendidikan
politik adalah pendidikan orang dewasa dengan menyiapkan kader-kader untuk
pertarungan politik dan mendapatkan penyelesaian politik agar menang dalam
perjuangan politik.
2.
Pendidikan
politik adalah upaya edukatif yang intensional, disengaja dan sistematis untuk
membentuk individu sadar politik, dan mampu mnejadi pelaku politik yang
bertanggung jawab secara etis atau moril dalam mencapai tujuan-tujuan politik.
3.
R.
Hayer menyebut : Pendidikan politik ialah usaha membentuk manusia menjadi
partisipan yang bertanggung jawab dalam politik.
Dari beberapa pendapat
di atas maka dapat disimpulkan bahwa unsur pendidikan dalam pendidikan poltik
itu pada hakekatnya merupakan aktivitas pendidikan diri (mendidik dengan
sengaja diri sendiri) yang terus menerus
person, sehingga orang yang bersangkutan lebih mampu memahami dirinya sendiri
dan situasi kondisi lingkungan sekitarnya, serta mampu menilai segala sesuatu
secara kritis serta mampu menentukan sikap dan cara-cara penanganan
permasalahan-permasalahan yang ada ditengah lingkungan hidupnya.
Dengan begitu
pendidikan politik merupakan proses belajar bukan hanya menambah informasi dan
pengetahuan saja, akan tetapi lebih menekankan kemampuan mawas situsinya secara
kritis dan mampu menentukan sikap yang benar serta melatih ketangkasan dalam
berbuat.
Inti dari pendidikan
politik adalah pemahaman aspek-aspek politik dari setiap permasalahan. Dan
pemahaman politik berarti pemahaman konflik.
Adapun menurut
Kantaprawira (2006:234), tujuan pendidikan politik adalah:
1.
Membuat
rakyat (individu, kelompok, klien, anak didik, warga masyarakat, rakyat dan
seterusnya.
· Mampu memahami
situasi sosial- politik penuh konflik
· Berani bersikap
tegas memberikan kritik membangun terhadap kondisi masyarakat yang tidak mantap
· Aktivitasnya
diarahkan pada proses demokratisasi individu/perorangan dan demokratisasi semua
lembaga kemasyarakatan serta lembaga Negara
· Sanggup
memperjuangkan kepentingan dan ideologi tertentu. Khususnya yang berkolerasi
dengan keamanan dan kesejahtraan
2.
Memperhatikan
dan mengupayakan
·
Peranan
insani dari setiap individu sebagai warga negara (melaksanakan realisasi-diri/aktualisasi
diri dari dimensi sosialnya)
·
Mengembangkan
semua bakat dan kemampuannya (aspek kognitif, wawasan, kritis, sikap
positf,keterampilan politik)
·
Agar
orang bisa aktif berpartisifasi dalam proses politik, demi pembangunan diri,
masyarakat sekitar, bangsa dan Negara
Hal ini memberikan
isyarat betapa pentingnya pendidikan politik untuk ditanamkan pada setiap warga
negara Indonesia agar memiliki kesadaran politik bangsa. Melalui pendidikan
politik diharapkan akan melahirkan warga negara yang demokratis, patuh pada
hukum sadar akan kebersamaan dan menghargai nilai kemanusiaan secara beradab.
Tujuan dan inti daripada pendidikan politik
hal ini sesuai dengan isi yang tersirat dalam sila ke 4 Pancasila antara lain
membuat rakyat menjadi melek politik atau sadar politik, lebih kreatif dalam
partisifasi sosial politik diera pembangunan, sekaligus juga menghumanisasikan
masyarakat agar menjadi “Leefbaar” yaitu
lebih nyaman dan sejahtera untuk dihuni oleh semua warga masyarakat Indonesia.
B. Perubahan
Politik
1. Pengaruh Perubahan
Politik
Menurut Samuel
Huntington dalam Abdul Hamid (1991:108) dijelaskan bahwa:
Pada akhir tahun 1960-an analisa perubahan politik menjadi perhatian
tersendiri dalam karya ilmu politik, terlepas dari kemungkinan
bahwa ia ada menggiatkan minat terhadap
perumusan teori-teori yang lebih hubungannya dengan proses proses sosial,
ekonomi, kebudayaan dan modernisasi atau perhatian teologis yang mendasari
sebagian kegiatan ilmiah dalam ilmu politik.
Dalam rentang
waktu satu dasawarsa kemudian fokus utama ilmu politik mengalami perubahan
perubahan dalam kajiannya. Mulai dari fokus terhadap sistem politik, analisa
terhadap perbandinagan sistem politik modern dan tradisional, kemudian pindah
lagi perhatian terhadap proses proses sejarah, bergeser pada konsep-konsep
pembangunan politik, dan kemudian kembali lagi kepada tingkat abstraksi yang
lebih tinggi yang berorientasi pada teori teori umum tentang perubahan politik.
Fokus utama ilmu
politik mengalami perubahan-perubahan dalam kajiannya, sistem politik, analisa
terhadap perbandingan sistem politik modern dan tradisional, kemudian pindah lagi perhatian terhadap
proses proses sejarah, bergeser pada konsep-konsep pembangunan politik, dan kemudian kembali
lagi kepada tingkat abstraksi yang lebih tinggi
yang berorientasi pada teori-teori umum tentang perubahan politik Adapun
dalam http://repository.usu.ac.id/ teori-teori umum tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, perubahan politik yang terjadi pada setiap taraf pembangunan.
Kedua, kerangka kerangka tersebut tidak banyak berkaitan dengan proses
modernisasi. Ketiga, variabel yang berhubungan dengan teori sebagian besar bersifat politik. Keempat, Kerangka-kerangka
itu cukup fleksibel untuk menampung perubahan
perubahan politik baik dari lingkungan dalam negeri ataupun lingkungan luar negeri.
Kelima, pada umumnya teori-teori itu lebih kompleks dari pada teori teori modernisasi
politik dan pembangunan politik.
Samuel
Huntington dalam Abdul Hamid dalam Abdul Hamid (1991:119) menjelaskan bahwa,
fokus utama perubahan politik adalah hubungan antara partisipasi politik dan
pelembagaan politik. Hubungan diantara
kedua unsur tersebutlah yang mempengaruhi stabilitas sistem politik. Hal ini
disebabkan karena kadar dari sebuah partisipasi politik yang diberikan oleh
suatu masyarakat berkaitan erat terhadap legitimasi yang diperoleh lembaga
lembaga politiknya. Apabila partisipasi yang dimaksud dalam bentuk dukungan,
maka hal itu menunjukan bahwa kelembagaan politik tersebut memiliki tingkat
kepercayaan yang baik. Begitu juga sebaliknya, jika partisipasi politik tersebut dalam bentuk kritikan, maka
kelembagaan politk tersebut tidak mendapat respon yang baik dalam masyarakat.
Selanjutnya, William
Mitcheel dalam Nurul Aini (2009:52) mengutarakan bahwa:
Langkah pertama dalam menganalisa perubahan politik adalah dengan
terlebih dahulu mengidentifikasikan objek objek yang dipengaruhi oleh
perubahan-perubahan tersebut. Dengan kata lain semua unsur-unsur yang ada pada
sebuah sistem tersebut harus dikonfigurasikan apakah berkaitan terhadap perubahan-perubahan
yang terjadi. Tugas itu adalah apa yang merupakan atau yang mungkin merupakan
komponen komponen dalam suatu sistem poltik dan menentukan apakah ada hubungan
dalam perubahan-perubahan yang terjadi diantara mereka. Dengan begitu, maka pendekatan
yang seperti ini dapat di kategorikan sebagai sebuah pendekatan yang memusatkan
perhatiannya pada perubahan konvesional.
Selanjutnya Nurul
Aini (2009:54) menjelaskan bahwa studi mengenai perubahan politik meliputi
beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, merumuskan perhatian pada apa yang agaknya menjadi
komponen-komponen pokok suatu sistem politik. Kedua, penentuan laju, ruang
lingkup dan arah perubahan dalam komponenkomonen yang telah disebutkan pada
poin pertama. Ketiga, melakukan analisa tentang hubungan-hubungan antara
perubahan-perubahan dalam suatu komponen dan perubahan-perubahan dalam komponen
lain.
Dari ketiga hal
diatas dapat dirumuskan bahwa perubahan politik tersebut meliputi segala bentuk
aksi dan reaksi dalm sebuah sisitem politik beserta
perubahan-perubahannya.
Studi mengenai perubahan politik dapat berkembang dengan menganalisa kelima komponen dalam sisitem politik serta
perubahan dalam suatu komponen dan perubahan
dalam komponen lainnya. Kelima komponen dalam sistem politik tersebut
adalah: kultur, struktur, kelompok, kepemimpinan dan kebijaksanaan.
Komponen-komponen dan unsur-unsur adalah
objek perubahan yang terlebih dahuluh harus di pahami jika kita ingin
fokus terhadap perubahan politik.
Oleh karena itu,
dapat dipahami bahwa analisa yang mendalam mengenai keterkaitan akan perubahan yang
terdapat pada komponen-komponen tersebut
dalam kaitaanya terhadap perubahan politik yang dimaksud. Analisa
mengenai perubahan politik pertama-tama dapat diarahkan pada perubahan- perubahan
sederhana mengenai kekuasaan dan unsur-unsur dari sebuah sistem politik. Perubahan
yang terjadi mengenai gaya pemerintahan,
sistem pemerintahan yang diterapkan dan segala bentuk lembaga-lembaga
politik yang tersinkronisasi dalam sebuah sistem politik. Namun fokus dari
perubahan politik bukanlah semata-mata terfokus pada perubahan kekuasaan. Melainkan
yang lebih penting adalah permasaalahan hubungan yang ditimbulkan antara
perubahan perubahan kekuasaaan masing-masing komponen dan unsur dengan
perubahan dalam isinya.
Menurut Nurul
Aini (2009:57), perubahan politik dapat
di klasifikasikan berdasarkan dua tingkatan sebagai berikut.
Pertama, Laju ruang lingkup dan arah perubahan sebuah komponen dapat dibandingkan
dengan laju dan ruang lingkup komponen lainnya. Sebuah bentuk perbandingan yang
demikian dapat menjelaskan pola-pola stabilitas dan kegoncangan dalam sistem
politik. Sehingga jangkauan sebuah komponen berhubungan dengan perubahan atau
tiadanya perubahan pada komponen lainnya. Misalnya kultur dan suatu sistem
politik mungkin bisa dipandang sebagai hal yang lebih penting dibandingkan
kelompok, pemimpin dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan. Tingkatan kedua
dari analisa perubahan politik adalah perubahan kekuasaan dari suatu unsur
dalam sebuah komponen pada suatu sistem dapat dibandingkan denngan unsur-unsur
lain dari komponen yang sama. Hal ini dapat meliputi analisa mengenai bangkit redupnya
ideologi dan kepercayaan, lembaga dan kelompok, pemimpin dan kebijaksanaan serta
unsur-unsur yang terdapat dalam komponen tersebut yang telah mengalami
perubahan. Hal ini berarti menyangkut kajian sebuah unsur-unsur tersebut yang
bersifat dinamis sehingga harus terus dipantau perubahan-perubahannya. Perubahan
Politik dapat disebut sebagai bertambahnya atau berkurangnya gejala gejala
politik politik tertentu.
Dari tingkatan-tingkatan
perubahan politik tersebut, Nurul Aini (2009:54) menyatakan Perubahan Politik
itu sendiri dapat di klasifikasikan menjadi tiga pengertian pokok, yaitu:
Pertama: Perubahan Politik dapat
didefinisikan sebagai suatu gejala perkembangan politik, yaitu
bertambahnya/ semakin banyaknya
gejala-gejala politik yang muncul, Kedua: Perubahan Politik dapat didefinisikan sebagai suatu gejala kemerosotan politik
(regresi politik), yaitu berkurangnya/ hilangnya gejala-gejala politik tertentu, dan Ketiga:
Perubahan Politik juga dapat didefenisikan sebagai suatu gejala kemacetan
politik, yaitu suatu keadaan dimana suatu gejala politik tertentu tidak mengalami perkembangan maupun penurunan.
Dari pemaparan
tersebut dapat dismpulkan bahwa pengaruh perubahan politik terlihat dari adanya gejala-gejala
politik yang menunjukkan perkembangan maupun penurunan kegiatan dan kebijakan
politik dalam suatu Negara yang tentu saja berdampak terhadap
tatanan kehidupan bernegara.
2. Objek Perubahan Politik
Secara dinamis,
perubahan politik mempunyai objek tertentu yang menjadi fokus kajiannya, melalui observasi yang dilakukan oleh ilmuwan
politik mengenai perubahan politik, sistem nilai politik, struktur kekuasaan, strategi
mengenai permasalahan kebijakan umum dan lingkungan masyarakat yang
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem politik. Perubahan-perubahan politik
yang terjadi adalah masalah-masalah pokok dari objek politik dan hal-hal
penting yang terkait terhadap perubahan politik.
Sistem nilai
politik terdiri dari nilai-nilai sosial, ekonomi, dan budaya yang terkandung
didalamnya. Keterkaitan diantara sistem nilai dan sub-sistem nilai adalah hubungan
yang saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Dalam sistem nilai politik
terkandung tujuan negara dan prioritas pemerintahan, hak-hak warga negara,
presepsi mengenai dunia, justifikasi atas hak untuk memerintah, dan aturan main
politik.
Sistem nilai
politik merupakan sebuah permasalahan yang sangat kompleks karena meliputi keseluruhan
dari sub sub sistem yang ada, dan sangat mempengaruhi bentuk objek yang
lainnya. Struktur kekuasaan terdiri atas infrastruktur dan suprastruktur dalam
setiap proses pengambilan kebijakan. Kekuasaan infrastruktur meliputi lembaga
lembaga diluar pemerintahan seperti lembaga lembaga ekonomi, sosial, agama
ataupun partai politik (Bukan partai penguasa) dalam hal perannya mempengaruhi
kebijakan umum. Kekuasaan suprastruktur meliputi lembaga lembaga pemerintahan
beserta proses proses yang ada didalamnya seperti, dimensi kekuasaan,
distribusi kekuasaan, pelaksanaan kekuasaan dan intensitas kekuasaan itu
sendiri.
Setiap sistem
mempunyai cara tersendiri dalam menyikapi permasalahan kebijakan. Sebuah sistem
yang dikendalikan oleh kelompok pemerintahan yang kuat tentunya dapat membuat
kebijakan yang sifatnya sedikit memaksa dan cenderung condong kepada kepentingan
kelompoknya. Hal ini disebabkan karena dominasi kekuasaan pada sebuah sistem
telah membuat arah sistem tersebut sesuai dengan kendali yang dilakukan oleh kelompok penguasa. Sedangkan sebaliknya, apabila sebuah
sistem tidak didukung oleh pemerintahan yang kuat, justru akan membuat sistem
tersebut semakin rawan akan tekanan-tekanan yang diberikan oleh kelompok
oposisi.
Menurut
pendapat Nurul Aini (2009:69)
dikemukakan bahwa:
Berdasarkan sistem nilai politik tertentu, dalam kerangka struktur
kekuasaan tertentu, dan konteks lingkungan masyarakat tertentu, peran pembuat
keputusan harus memilih berbagai alternatif untuk menangani empat permasalah pokok
kebijakan. Pertama, untuk mencapai tujuan kebijakan interaksi macam apakah yang
terjadi antara kehendak subjektif pemimpin politik dan kondisi objektif?
Permasalahan menyangkut kaitan antara kendala struktural dan kultural atas
supaya individu mengejar tujuannya pada satu pihak (determinisme), dan individu mengekspresikan kehendak kuat untuk
beberapa aspek kultur dan struktur pada pihak lain (Voluntarisme). Kedua, dalam
upaya mencapai tujuan kebijakan umum, struktur politik apakah yang melaksanakan
kekuasaan secara lebih dominan, infrastruktur secara spontan atau justru
suprastruktur? Permasalahan ini
menyangkut antara spontanitas atau prakarsa berbagai kelompok sosial dan
prakarsa dan intervensi dari lembaga lembaga pemerintah. Ketiga, dalam proses kebijakan
seberapa penting dan mendalam konflik yang terjadi antara konflik nilai politik
dan struktur kekuasaan? Permasalahan ini menyangkut konsensus yang diperlukan, atau
tingkat konflik yang ditolerir untuk membuat dan melaksanakan kebijakan umum secara efektif
Keempat, Ketika merumuskan dan melaksanakan
kebijakan umum, para pembuat prioritas harus membuat keputusan yang
diberikan terhadap perubahan dan
kesinambungan baik dalam sistem nilai politik dan struktur kekuasaan maupun
dalam lingkungan masyarakat dan fisik.
Pada dasarnya
objek politik sangat mempengaruhi dan dipengaruhi fisik seperti pertanian,
perkebunan, pertambangan, pariwisata, dan tenaga surya. Struktur lapisan
masyarakat dipengaruhi oleh objek dari perubahan politik, termasuk dalam
lingkungan masyarakat seperti budaya politik, tingkat pendidikan, struktur
ekonomi dan komunikasi massa.
Berdasarkan
pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya keterkaitan antara objek
politik dengan objek-objek lain yang ada dalam sendi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
3.
Perubahan Politik Sebagai Bentuk Perubahan Sosial
Perubahan politik merupakan salah satu bagian dari
gejala perubahan social, dan akan
membawa suatu perubahan pada sebuah sistem sosial dalam sebuah kelompok
masyarakat/ negara.
Perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam
struktur dan fungsi masyarakat, karena perubahan tersebut bersinggungan dengan
fungsi masyarakat, Davis mengemukakan bahwa perubahan tersebut dapat
menyebabkan perubahan dalam organisasi ekonomi maupun politik.
Pendapat lain
mengenai perubahan sosial dikemukakan oleh Mac Iver dalam http://repository.usu.ac.id/ yang mendefenisikan perubahan sosial sebagai hubungan
dalam perubahan sosial (sosial relations)
atau perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium)
dalam hubungan sosial. Hubungan sosial yang dimaksud merupakan hubungan antar
individu ataupun antar kelompok dalam kehidupan bernegara.
Selanjutnya Johnson
dalam http://repository.usu.ac.id/ mengatakan perubahan sosial ditandai oleh empat hal
penting, yaitu:
Pertama, hilangnya kepercayaan terhadap institusi-institusi sosial yang
mapan terutama lembaga lembaga ekonomi dan politik, kedua, otoritas yang terdapat
dalam institusi-institusi sosial utama dipertanyakan, ketiga, menurunnya etika
tradisional, dan keempat penolakan secara luas terhadap teknokrasi dan berbagai
segi organisasi birokrasi. Keempat hal ini lah yang kemudian menjadi
gejala-gejala yang menandai terjadinya sebuah proses perubahan sosial.
Jika mengaitkan
dengan keberadaan perubahan politik yang pernah terjadi di indonesia yang
dipengaruhi oleh keberadaan komunisme, maka apa yang dijelaskan oleh Jhonson
tersebut mengarah kepada bagaimana institusi-intitusi sosial yang berhaluan
komunis tidak lagi mendapat kepercayaan dari masyarakat dan justru mendapat
kecaman keras dari masyarakat itu sendiri. Institusi-intitusi komunis seperti
PKI (dalam bidang politik) dan Lekra (dalam bidang sosial) telah dibubarkan
oleh pemerintah karena membentuk image negatif terhadap institusi-intitusi
tersebut dimata masyarakat. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
institusi-intitusi yang berideologi komunis tersebut dapat menyebabkan
terjadinya perubahan sosial di Indonesia.
Menurut Mooris
Ginsberg dalam Lyman Tower Sargent (1986:125) sebab-sebab terjadinya perubahan
sosial adalah sebagai berikut:
a. Keinginan individu dalam masyarakat untuk secara sadar
mengadakan perubahan;
b. Sikap sikap pribadi yang dipengaruhi oleh kondisi
kondisi yang berubah;
c. Perubahan perubahan struktural dalam bidang sosial,
ekonomi dan politik;
d. Pengaruh eksternal;
e. Munculnya pribadi pribadi dan kelompok yang menonjol
dalam masyarakat (kelas menengah);
f. Munculnya peristiwa peristiwa tertentu, seperti
misalnya kekalahan perang, ataupun kekalahan sebuah kekuatan politik terhadap kekuatan politik
yang lainnya;
g. Tercapainya konsensus dalam masyarakat untuk meraih
suatu tujuan bersama.
Selanjutnya,
Lyman Tower Sargent (1986:128) mengemukakan bahwa:
Perubahan sosial juga ada yang sifatnya dikehendaki (intended change) atau perubahan yang direncanakan (planed change) dan perubahan yang tidak
dikehendaki (unintended change) atau
perubahan yang tidak direncanakan (unplanned
change).
Perubahan yang
dikehendaki merupakan perubahan yang sebelumnya telah direncanakan dengan baik
dan yang menjadi kemauan dari masyarakat. Perubahan yang tidak dikehendaki
merupakan perubahan yang terjadi secara spontan dan tidak ada rencana
sebelumnya untuk melakukan sebuah perubahan. Masyarakat sebelumnya tidak
menyadari bahwa akan terjadi sebuah perubahan dalam
kehidupan mereka.
Dari pemaparan
tersebut dapat dipahami bahwa perubahan politik merupakan salah satu bentuk
dari sebuah perubahan sosial. Biasanya sebuah gejala perubahan sosial
akan menjadi sebuah faktor bagi terjadinya sebuah perubahan politik. Pembahasan
mengenai perubahan sosial sangat dibutukan dalam menganalisa sebuah prubahan
politik. Hal ini diperlukan untuk melihat gejala-gejala sosial seperti apa yang
mempengaruhi sebuah perubahan sosial yang kemudian menjadi faktor bagi terjadinya
sebuah perubahan politik.
C. Respon
Masyarakat
Pada pengamatan berlangsung perangsang-perangsangan. Stimulus berarti
rangsangan dan respon berarti tanggapan. Rangsangan diciptakan untuk
memunculkan tanggapan. Respon lambat-laun tertanam atau diperkuat melalui
percobaan yang berulang-ulang (Djamarah, 2002:23).
Menurut pendekatan perilaku, pada dasarnya tingkah laku adalah respon
atas stimulus yang datang. Secara sederhana dapat digambarkan dalam model S-R
atau suatu kaitan Stimulus - Respon. Dalam hal ini berarti tingkah laku itu
seperti reflek tanpa kerja mental sama sekali. Pendekatan ini dipelopori oleh
J.B. Watson kemudian dikembangkan oleh B.F.Skinner dan melahirkan banyak
sub-aliran, yaitu:
1. Pendekatan
Kognitif
Pendekatan kognitif menekankan bahwa tingkah laku adalah proses mental,
dimana individu (organisme) aktif dalam menangkap, menilai, membandingkan, dan
menanggapi stimulus sebelum melakukan reaksi. Individu menerima stimulus lalu
melakukan proses mental sebelum memberikan reaksi atas stimulus yang datang.
2. Pendekatan
Psikoanalisa
Pendekatan psikoanalisa dikembangkan oleh Sigmund Freud yang meyakini
bahwa kehidupan individu sebagian besar dikuasai oleh alam bawah sadar.
Sehingga tingkah laku banyak didasari oleh hal-hal yang tidak disadari, seperti
keinginan, impuls, atau dorongan. Keinginan atau dorongan yang ditekan akan
tetap hidup dalam alam bawah sadar dan sewaktu-waktu akan menuntut untuk
dikeluarkan.
3. Pendekatan
Fenomenologi
Pendekatan fenomenologi ini lebih memperhatikan pada pengalaman subyektif
individu karena itu tingkah laku sangat dipengaruhi oleh pandangan individu
terhadap diri dan dunianya, konsep tentang dirinya, harga dirinya dan segala
hal yang menyangkut kesadaran atau aktualisasi dirinya. Hal ini berarti melihat
tingkah laku seseorang selalu dikaitkan dengan fenomena tentang dirinya.
Respon atau
tanggapan adalah kesan-kesan yang dialami jika perangsang sudah tidak ada. Jika proses pengamatan sudah
berhenti, dan hanya tinggal kesan-kesannya saja, peristiwa sedemikian ini
disebut tanggapan. Defenisi tanggapan ialah gambaran ingatan dari pengamatan
(B.F. Skinner dalam Kartono, 1994:57). Dalam hal ini untuk mengetahui respon
masyarakat dapat dilihat melalui persepsi, sikap dan partisipasi masyarakat. Respon tidak terlepas dari
pembahasan persepsi, sikap dan partisipasi masyarakat.
Persepsi menurut Morgan, King dan Robinson adalah suatu proses
diterimanya suatu rangsangan (obyek, kualitas, hubungan antar gejala maupun peristiwa)
dengan cara melihat dan mendengar dunia disekitar kita. Dengan kata lain
persepsi dapat juga didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dialami manusia
(Morgan, King dan Robinson dalam Adi, 2000:105).
Persepsi adalah
suatu proses yang dimulai dari penglihatan dan pendengaran hingga terbentuk
tanggapan yang terjadi pada diri individu sehingga individu sadar akan segala
sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya (Mahmud,
1990:55). Sedangkan penglihatan dan pendengaran seseorang dapat dilihat melalui
dengan cara mencermati, memahami dan menilai segala sesuatu yang terjadi di
dalam lingkungan sehingga terbentuk tanggapan dari dirinya.
Fenomena lain yang terpenting dengan persepsi adalah atensi, yaitu suatu proses
penyeleksian input yang diproses dalam kaitan dengan pengalaman. Oleh karena
itu atensi menjadi bagian yang terpenting dalam proses persepsi, mendasarkan diri pada
proses yang disebut filtering atau
proses untuk menyaring informasi yang ada pada lingkungan, karena sensori
channel kita tidak mungkin memproses semua rangsangan yang berada pada
lingkungan kita (Adi, 2000:14).
Hal-hal yang mempengaruhi atensi seseorang dapat dilihat dari faktor
internal dan faktor eksternal. Menurut Adi (2000:105) faktor internal dan eksternal
tersebut adalah sebagai berikut.
Faktor internal
yang mempengaruhi atensi adalah :
1.
Motif dan kebutuhan.
2.
Preparator set, yaitu kesiapan seseorang
untuk berespon terhadap suatu input sensori tertentu tetapi tidak pada input
yang lain.
3.
Minat (Interest).
Faktor
eksternal yang mempengaruhi atensi adalah:
1.
Intensitas dan ukuran. Misalnya makin keras
suatu bunyi maka akan semakin menarik perhatian seseorang.
2.
Kontras dengan hal-hal baru.
3.
Pengulangan.
4.
Pergerakan
pembahasan
tentang respon tidak lepas dari perubahan konsep sikap. Sikap merupakan
kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku tertentu jika
menghadapi suatu rangsangan.
Perubahan sikap dapat menggambarkan bagaimana respon seseorang terhadap
objek-objek tertentu sepserti perubahan lingkungan atas situasi lain. Seperti yang dikemukakan oleh Adi (2000:178) bahwa sikap yang muncul dapat positif
yakni cenderung menyenangi, mendekati, mengharapkan suatu objek, atau muncul
sikap negatif yakni menghindari, membenci suatu objek.
Selanjutnya Walgito (1999:110) mengemukakan bahwa sikap merupakan
organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang
relatif yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada
orang tersebut untuk membuat respon atau berperilaku dalam cara yang tertentu
yang dipilihnya.
Menurut Adi (2000:179), ciri-ciri sikap adalah sebagai
berikut:
a.
Dalam sikap selalu terdapat hubungan
subjek-objek. Tidak ada sikap yang tanpa objek. Objek ini bisa berupa benda,
orang, ideologi, nilai-nilai sosial, lembaga masyarakat dan sebagainya.
b.
Sikap tidak dibawa sejak lahir tetapi dipelajari
dan dibentuk berdasarkan pengalaman dan latihan.
c.
Karena sikap dapat dipelajari, maka sikap dapat
berubah-ubah, meskipun relatif sulit berubah.
d.
Sikap tidak menghilang walau kebutuhan sudah
dipenuhi.
e.
Sikap tidak hanya satu macam saja, melainkan
sangat beragam sesuai dengan objek yang menjadi pusat perhatiannya.
f.
Dalam sikap tersangkut juga faktor motivasi dan
perasaan.
Pendekatan partisipasi bertumpu pada kekuatan masyarakat untk secara
aktif berperan serta dalam proses pembangunan secara menyeluruh. Partisipasi
aktif masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan memerlukan kesadaran
warga masyarakat akan minat dan kepentingan yang sama. Strategi yang biasa
diterapkan adalah melalui strategi penyadaran. Untuk berhasilnya program
pembangunan desa tersebut, warga masyarakat dituntut untuk terlibat tidak hanya
dalam aspek kognitif dan praktis tetapi juga ada keterlibatan emosional pada
program tersebut. Hal ini diharapkan dapat memberi kekuatan dan perasaan untuk
ikut serta alam gerakan perubahan yang mencakup seluruh bangsa.
Selain persepsi dan sikap, partisipasi juga menjadi hal yang sangat
penting bahkan mutlak diperlukan dalam mengukur respon. Partisipasi adalah
keterlibatan masyarakat secara aktif dan terorganisasikan dalam seluruh tahapan
pembangunan, sejak tahap sosialisai, persiapan, perencanaan, pelaksanaan,
pemahaman, pengendalian, evaluasi sehingga pengembangan atau perluasannya. Seperti yang dikemukakan oleh Suprapto (2007:8) bahwa:
Pendekatan
partisipasi bertumpu pada kekuatan masyarakat untuk secara aktif berperan serta
dalam proses pembangunan secara menyeluruh. Partisipasi atau keikutsertaan para
pelaku dalam masyarakat untuk terlibat dalam proses pembangunan ini akan
membawa manfaat dan menciptakan pertumbuhan ekonomi didaerah.
Partisipasi ditinjau dari fungsi yang diambil oleh masyarakat (pelaku)
untuk suatu program, fungsi yang dapat diambil oleh masyarakat dalam berpartisipasi
sebagaimana diungkapkan
Suprapto (2007:1) adalah sebagai berikut.
1)
Berperan serta dalam menikmati hasil
pembangunan. Karena semua sudah dikerjakan oleh pihak luar maka masyarakat
tinggal menerima berupa hasil pembangunan misalnya gedung sekolah, pos Keluarga
Berencana (KB), pembibitan tanaman, masyarakat tinggal menerima bibitnya.
Partisipasi ini jelas mudah, namun menikmati belum berarti memelihara.
2)
Berperan serta dalam melaksanakan program
pembangunan hal ini terjadi karena pihak luar masyarakat, sudah mengerjakan
persiapan, perencanaan, dan menyediakan semua kebutuhan program. Masyarakat
tinggal melaksanakan, dan setelah itu baru dapat menikmati hasilnya. Misalnya
dalam membangun jalan, masyarakat ikut serta meratakan jalan dan menata/
merapikan batu. Pemagaran rumah, masyarakat tinggal memasang alat-alat/bahan
yang sudah disediakan dan lain-lain.
3)
Berperan serta dalam memelihara hasil program.
Fungsi ini lebih sulit, apalagi kalau masyarakat tidak terlibat dalam
pelaksanaan. Sulit, bukan saja karena tidak mempunyai keterampilan, tetapi yang
lebih penting karena mereka merasa tidak memiliki program tersebut. Pada
umumnya masyarakat bersedia memelihara satu gedung milik umum di desa jika
mereka ikut ambil bagian dalam membangunnya, bahkan ikut menyumbang sebagian
bahan. Contoh lain, masyarakat bersedia menanam dan memelihara bibit tanaman
dari proyek pembibitan kalau masyarakat ikut berkorban atau berpartisipasi
selama pembibitan dipersiapkan dan dilaksanakan.
4)
Berperan serta dalam menilai program. Fungsi ini
kadang diambil masyarakat karena diminta oleh penyelenggara program dan
masyarakat merasa program tidak sesuai dengan aspirasinya.
Partisipasi
memiliki hubungan/ kaitan dengan frekuensi dan kualitas yaitu:
1. Frekuensi
Kaitan
Partisipasi dengan Frekuensi ialah bahwa partisipasi merupakan keterlibatan
masyarakat dimana keterlibatan tersebut harus memiliki frekuensi yang baik dan
teratur agar masyarakat dapat melaksanakan program pembangunan dengan penuh
persiapan, perencanaan, pemahaman dan evaluasi. Contoh: berperan serta dalam
bersosialisasi untuk menilai suatu program.
2. Kualitas
Kaitan
partisipasi dengan kualitas ialah bahwa dalam melaksanakan suatu program harus
diperlukan sikap yang berkualitas pada masyarakat tersebut dan keterlibatan
masyarakat yang bertata laku dengan baik maka mereka akan menjadi
terinternalisasi dengan sikap dan nilai pribadi yang kondusif terhadap
kualitas. Contoh: berperan serta dalam melaksanakan suatu program.
Hal tersebut dipertegas
oleh Isbandi (2007:27) bahwa:
Partisipasi
masyarakat mengikutsertakakan masyarakat dalam proses pengidentifikasian
masalah dan potensi yang ada dimasyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan
tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi
masalah dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang
terjadi.
Mikkelsen (1999:64) membagi partisipasi menjadi
6 pengertian yaitu:
1.
Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari
masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan.
2.
Partisipasi adalah pemekaan (membuat peka) pihak
masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi
proyek-proyek pembangunan.
3.
Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh
masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri.
4.
Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang
mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan
menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu.
5.
Partisipasi adalah pemantapan dialog antara
masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan,
monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan
dampak-dampak sosial.
6.
Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam
pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka.
Jadi definisi partisipasi di atas dapat dibuat kesimpulan bahwa
partisipasi adalah keterlibatan aktif dari seseorang atau sekelompok orang
(masyarakat) secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela dalam program
pembangunan dan terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan
sampai pada tahap evaluasi.
Dalam merespon stimulus, tidak terlepas dari subjek dan objeknya. Subjek
merupakan orang yang merespon dan objek merupakan stimulus atau yang akan
direspon. Dalam hal ini yang menjadi subjeknya adalah masyarakat sasaran
penerima manfaat Raskin dan yang menjadi objeknya adalah program Raskin.
Masyarakat dalam bahasa Inggris adalah Society yang berasal dari
kata Socius yang artinya kawan. Hidup dalam masyarakat berarti adanya
interaksi sosial dengan orang-orang disekitar dan dengan demikian mengalami
pengaruh dan mempengaruhi orang lain. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa
masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut sistem
adat-istiadat yang bersifat kontiniu dan terikat oleh suatu rasa identitas
bersama.
Koentjaraningrat dalam Wahyu (1996:59) menyatakan
bahwa masyarakat adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang
terikat oleh suatu sistem adat-istiadat yang tertentu. Sedangkan Selo Sumardjan dalam Wahyu (1996:60)
menyatakan bahwa masyarakat ialah orang-orang yang hidup bersama yang
menghasilkan kebudayaan.
Unsur atau ciri masyarakat menurut konsep Horton dan Hunt (dalam dalam
Wahyu, 1996:59) adalah:
1.
Kelompok manusia, yang sedikit banyak memiliki
kebebasan dan bersifat kekal.
2.
Menempati suatu kawasan.
3.
Memiliki kebudayaan.
4.
Memiliki hubungan dalam kelompok yang
bersangkutan.
Sedangkan menurut Fairchild dalam Wahyu (1996:61), unsur atau ciri
masyarakat adalah:
1.
Kelompok manusia.
2.
Adanya keterpaduan atau kesatuan diri
berlandasakan kepentingan utama.
3.
Adanya pertahanan dan kekekalan diri.
4.
Adanya kesinambungan.
5.
Adanya hubungan yang pelik diantara anggotanya.
Diantara istilah masyarakat yang telah dikemukakan diatas, tidak terdapat
perbedaan pendapat tentang ungkapan yang mendasar, justru yang ada mengenai
persamaannya. Namun yang utama, menurut
Horton, Hunt dan Fairchild dalam Setiadi (2007:80) masyarakat itu merupakan kelompok atau kolektivitas manusia yang
melakukan antar hubungan, sedikit banyak bersifat kekal, berlandaskan perhatian
dan tumbuh bersama, serta telah melakukan jalinan secara berkesinambungan dalam
waktu yang relatif lama dan merupakan suatu sistem hidup bersama dimana mereka
menciptakan nilai, norma dan kebudayaan bagi kehidupan mereka.
Dengan akhirnya bahwa masyarakat mengandung pengertian yang sangat luas
dan dapat meliputi seluruh umat manusia. Menurut Wahyu (1996:60), masyarakat terdiri dari
berbagai kelompok besar maupun kecil tergantung pada jumlah anggotanya. Jadi
yang dimaksud dengan respon masyarakat adalah tingkah laku balas atau tindakan
masyarakat yang merupakan wujud dari persepsi dan sikap masyarakat terhadap
suatu objek yang dapat dilihat melalui proses pemahaman, penilaian, pengaruh
atau penolakan, suka atau tidak suka serta pemanfaatan terhadap objek tersebut.
D. Pemilihan Umum
Pemilu
merupakan proses kegiatan yang diselenggarakan untuk memilih wakil-wakil rakyat
yang pada gilirannya akan mengendalikan jalannya roda pemerintahan.
Menurut Sanit (1997:85) fungsi pemilu adalah mewujudkan
kedaulatan rakyat melalui pemerintahan perwakilan. Sedangkan Juliantara (1998:99) menyatakan bahwa pemilu pada dasarnya
merupakan ajang pertemuan dan persetujuan di antara massa-rakyat untuk
menentukan wakil-wakil rakyat yang akan duduk di parlemen. Pada hakekatnya
pemilu di negara manapun mempunyai esensi yang sama. Selanjutnya Donald (1997:4-5) menyatakan bahwa pemilu berarti rakyat
melakukan kegiatan memilih orang atau sekelompok orang menjadi pemimpin rakyat
atau pemimpin negara.
Menurut Surbakti (1992:181-182), pada dasarnya ada tiga tujuan pemilu
diselenggarakan, yaitu :
1.
Pemilihan
umum sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan
alternatif kebijakan umum. Sesuai dengan prinsip demokrasi yang memandang
rakyat yang berdaulat, tetapi pelaksanannya dilakukan oleh wakil-wakilnya.
2.
Pemilihan
umum juga dapat dikatakan sebagai mekanisme memindahkan konflik kepentingan
dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat yang terpilih atau melalui
partai-partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi masyarakat tetap
terjamin.
3.
Pemilihan
umum merupakan sarana memobilisasikan dan/atau menggalang dukungan rakyat terhadap
negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik
Pemilu
juga merupakan barometer watak suatu bangsa dalam berpolitik terutama watak
pemerintahan dan para kontestan dalam pemilu, tidak hanya sebagai pihak-pihak
yang terlibat, tetapi juga sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Di
sejumlah negara yang menerapkan atau setidaknya mengklaim diri sebagai negara
demokrasi, pemilu memang dianggap sebagai lambang sekaligus tolak ukur utama
dan pertama dari demokrasi. Artinya pelaksananan dan hasil pemilu merupakan
refleksi dari suasana keterbukaan dan aplikasi dari dasar demokrasi, disamping
perlu adanya kebebasan berendapat dan berserikat yang dianggap cerminan
pendapat warga negara.
Pemilu
memang dianggap akan melahirkan suatu representasi aspirasi rakyat yang tentu
saja berhubungan erat dengan legitimasi bagi pemerintah. Dengan melalui pemilu
pula, maka klaim bahwa jajaran elite pemerintah bekerja untuk dan atas nama
kepentingan rakyat menjadi dapat diakui. Memang pemerintah bukan merupakan
hasil langsung pikiran rakyat, melainkan hasil bentukan parlemem.
Namun
anggota parlemen yang dipilih lewat pemilu jelas berperan sebagai penyalur
aspirasi rakyat yang memilihnya. Keberhasilan pemilihan umum dapat tercapai
dengan baik jika diselenggarakan dengan cara-cara yang demokratis dan tidak
adanya unsur-unsur kekerasan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah kesadaran
masyarakat agar pemilu dapat dilaksanakan dengan jujur dan adil. Pada dasamya
pemilu harus pula didukung oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk di
dalamnya dukungan dari para tokoh masyarakat dan para ulama.
Dari pemaparan
tersebut dapat dipahami bahwa pemilihan umum merupakan suatu kegiatan politik
yang ditujukan untuk memilih seseorang untuk memimpin dan menentukan kebijakan
bagi suatu komunitas masyarakat, dengan tujuan untuk menciptakan tatanan
pemerintahan yang sesuai dengan keinginan masyarakat.