Kamis, 09 Januari 2020

PENINGKATAN KESADARAN NASIONALISME GENERASI MUDA DI ERA GLOBAL BERLANDASKAN NILAI PANCASILA


PENDAHULUAN

Salah satu permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini adalah         memudarnya   semangat nasionalisme dan patriotisme di kalangan generasi muda. Hal ini disebabkan banyaknya pengaruh budaya asing yang banyak masuk di negara kita, akibatnya banyak generasi muda yang melupakan budaya sendiri karena menganggap bahwa budaya asing merupakan budaya yang lebih modern dibanding budaya bangsa sendiri. Hal ini berakibat nilai-nilai luhur bangsa banyak diabaikan hampir terjadi disebagian besar generasi muda. Sejak

dahulu dan sekarang ini serta masa yang akan datang peranan pemuda atau generasi muda sebagai pilar, penggerak dan pengawal jalannya pembangunan nasional sangat diharapkan. Melalui organisasi dan jaringannya yang luas, pemuda dan generasi muda dapat memainkan peran yang lebih besar untuk mengawal jalann pembangunan nasional. Berbagai permasalahan yang timbul akibat rasa nasionalisme dan kebangsaan yang memudar banyak terjadi belakangan ini, banyak generasi muda atau pemuda yang mengalami disorientasi, dislokasi dan terlibat pada suatu kepentingan yang hanya mementingkan diri pribadi atau sekelompok tertentu  dengan mengatasnamakan rakyat sebagai alasan dalam kegiatanya.
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara merupakan hasil kesepakatan bapak pendiri bangsa ketika negara Indonesia didirikan, dan hingga sekarang di era globalisasi, negara Indonesia tetap berpegang teguh kepada pancasila sebagai dasar negara. Sebagai dasar negara, Pancasila harus menjadi acuan negara dalam menghadapi berbagai tantangan global dunia yang terus berkembang. Di era globalisasi ini peran Pancasila tentulah sangat penting untuk tetap menjaga eksistensi kepribadian bangsa Indonesia, karena dengan adanya globalisasi batasan batasan diantara negara seakan tak terlihat, sehingga berbagai kebudayaan asing dapat masuk dengan mudah ke masyarakat. Hal ini dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi bangsa indonesia, jika kita dapat memfilter dengan baik berbagai hal yang timbul dari dampak globalisasi tentunya globalisasi itu akan menjadi hal yang positif karena dapat menambah wawasan dan mempererat hubungan antar bangsa dan negara di dunia, sedangkan hal negatif dari dampak globalisasi dapat merusak moral bangsa dan eksistensi kebudayaan Indonesia.
Sehubungan hal tersebut, generasi muda sebagai pilar bangsa diharapkan memiliki jiwa patriotisme dan nasionalisme dengan tetap bertahan pada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia meskipun banyak budaya asing masuk di negara Indonesia. Dengan berlandaskan Pancasila diharapkan pengaruh budaya asing bisa disaring sehingga generasi muda bisa menjadi generasi yang benar-benar cinta pada tanah air Indonesia apapun keadaanya,
Terkait dengan hal itu, makalah ini akan membahas peranan Pancasila dalam menumbuhkan rasa nasionalisme di kalangan generasi muda Indonesia di era globalisasi. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis masalah-masalah yang tercermin akibat pudarnya rasa nasionalisme dan patriotism generasi muda di era global; mengetahui sejauh mana pentingnya  Pancasila        dalam menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotism generasi muda di era global; menganalisis peran pemerintah dalam menumbuhkan rasa nasionalisme di kalangan generasi muda saat ini; dan memberikan gambaran kepada generasi muda akan pentingnya rasa nasionalisme dan patriotisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

TINJAUAN PUSTAKA
Pancasila adalah dasar negara, ideologi bangsa dan falsafah serta pandangan hidup bangsa, yang di dalamnya terkandung nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis. Selain itu Pancasila sebagai ideologi terbuka setidaknya memiliki dua dimensi nilai- nilai, yaitu nilai-nilai ideal dan aktual. Namun nilai-nilai itu kondisinya dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dibawa globalisasi, sehingga berdampak terjadinya pergeseran peradapan, yang juga membawa perubahan pemaknaan dan positioning Pancasila (Sultan Hamengku Buwono X, Kongres Pancasila IV, UGM 2012). Pengaruh-pengaruh budaya asing akan bisa dihindari jika kita generasi muda mampu menyaring budaya asing dengan menggunakan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar acuan dalm kehidupan kita.
Pancasila yang memiliki semboyan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, dengan pluralisme dan multikulturalisme yang harus disatukan oleh “rasa bersama” dalam idiom nation-state berikut semangat nasionalisme yang menyertainya. Sri Edi Swasono berpendapat, nasionalisme menegaskan bahwa kepentingan nasional harus diutamakan, tanpa mengabaikan tanggung jawab global. Dengan demikian Pancasila memiliki makna yang berbeda akan tetapi tetap satu, banyak ragam tetapi tetap mewujudkan persatuan. Seperti halnya yang dituliskan oleh Empu Tantular: “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa”. Menunjukan bahwa Pancasila merupakan alat persatuan dari keanegaraman yang ada di negara Indonesia, multikultural dan juga pluralistik bangsa Indonesia. Tan Hana Darma Mangrwa menurut Empu Tantular adalah tidak ada kewajiban yang mendua, artinya hanya demi bangsa dan negara. Inilah wujud loyalitas yang diharapakan dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa”. Loyalitas pada bangsa dan Negara Indonesia, rasa nasionalisme dan patriotism terhadap bangsa dan negara Indonesia. Selanjutnya Sri Edi Swasono mengatakan, bahwa bila pemuda-pemudi Indonesia tidak mampu berwawasan Nusantara, tidak tahu tanah airnya sendiri, tidak tahu sabang merauke dan keanekaragaman di dalamnya, maka ini merupakan cacat embrional bagi nasionalisme Indonesia.
Paham nasionalisme muncul  sekitar tahun 1779 dan mulai dominan di Eropa pada tahun 1830. Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18 sangat besar pengaruhnya berkembangnya gagasan nasionalisme tersebut. Sedangkan nasionalisme Indonesia adalah suatu gerakan kebangsaan yang timbul pada bangsa  Indonesia  untuk   menjadi  sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat. Sejak
abad ke-19 dan ke-20, muncul benih-benih nasionalisme.
Nasionalisme berasal dari kata "nation‟ yang berarti bangsa. Terkadang kata “nasionalisme” itu sendiri telah sering disalahartikan oleh masyarakat. Nasionalisme sering diartikan sebagai sebagai paham chauvinisme yang berarti paham yang merendahkan bangsa lain dan menjunjung tinggi bangsa sendiri dengan cara yang berlebihan. Persepsi yang salah tentang kata “nasionalisme” perlu mendapat tanggapan dari masyarakat itu sendiri karena nasionalisme dapat menghantarkan dan menjadikan suatu bangsa tersebut menjadi bangsa yang besar. Seperti pepatah mengatakan “Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa-jasa pahlawannya”. Pepatah tersebut menjelaskan arti kata “nasionalisme” yang sebenarnya, apapun tantangan dan hambatanya bangsa dan negara sendiri yang utama. Nasionalisme yang benar mengutamakan kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggung jawab global.
Di samping beberapa pendapat di atas tentang nasionalisme, berikut ini beberapa pengertian nasionalisme dari beberapa tokoh. Menurut Ernest Renan, nasionalisme adalah kehendak untuk bersatu dan bernegara. Sedangkan Otto Bauer   mengatakan   bahwa  nasionalisme
adalah    suatu    persatuan    perangai  atau karakter yang timbul karena perasaan senasib. Dari kedua pendapat tersebut bisa diambil suatu kesimpulan, di dalam nasionalisme terkandung suatu makna kesatuan dan cinta tanah air, mencintai bangsa dan negara dengan mewujudkan persatuan bangsa dari berbagai ragam perbedaan.
Sementara itu dilihat dari asal usul katanya, kata globalisasi diambil dari kata global yang maknanya universal. Selama ini globalisasi belum memiliki makna yang baku, selama ini makna globalisasi tergantung dari mana orang memandang. Akan tetapi secara umum globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, budaya dan bentuk-bentuk interaksi yang lain. Globalisasi juga diartikan suatu fenomena di mana batasan-batasan antar negara seakan memudar karena terjadinya berbagai perkembangan di segala aspek kehidupan, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan terjadinya perkembangan berbagai aspek kehidupan khususnya di bidang iptek maka manusia dapat pergi dan berpindah ke berbagai negara dengan lebih mudah serta mendapatkan berbagai informasi yang ada dan yang terjadi di dunia.
Merujuk pada UU No. 40/2009 tentang Kepemudaan, generasi muda atau pemuda didefinisikan sebagai “Warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun”. Sementara itu dalam konteks demografi dan antropologis, generasi muda dibagi ke dalam usia persiapan masuk dunia kerja, atau usia produktif antara 15-40 tahun. Saat ini terdapat 40.234.823 penduduk Indonesia masuk dalam kategori generasi muda. Sementara dari sudut pandang sosial budaya. Generasi muda dari sudut pandang ini memiliki sifat majemuk dengan aneka ragam etnis, agama, ekonomi, domisili, dan bahasa. Mereka memiliki ciri ekosistem kehidupan yang terbagi ke dalam masyarakat nelayan, petani, pertambangan, perdagangan, perkantoran dan sebagainya. Sedangkan pada Pasal 7 dan Pasal 8, pelayanan kepemudaan diarahkan untuk menumbuhkan patriotisme, dinamika, budaya prestasi, dan semangat profesionalitas; dan meningkatkan partisipasi dan peran aktif pemuda dalam membangun dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Sedangkan pada Pasal 8, disebutkan bahwa strategi pelayanan kepemudaan adalah bela negara; kompetisi  dan apresiasi      pemuda;      peningkatan    dan perluasan     memperoleh     peluang   kerja sesuai potensi dan keahlian yang dimiliki; dan pemberian kesempatan yang sama untuk berekspresi, beraktivitas, dan berorganisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. peningkatan kapasitas dan kompetensi pemuda; pendampingan pemuda; perluasan kesempatan memperoleh dan meningkatkan  pendidikan    serta keterampilan; dan penyiapan kader pemuda dalam menjalankan fungsi advokasi dan mediasi yang dibutuhkan lingkungannya.
Dari beberapa landasan teori di atas maka di sini penulis akan mencoba menganalisa sejauh mana peranan Pancasila dalam menumbuhkan nilai-nilai nasionalisme di kalangan generasi muda di era global.

PEMBAHASAN 
Pancasila sejak masa Orde Baru runtuh sampai sekarang ini dianggap sebelah mata oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah dan telah melanggar nilai-nilai dari Pancasila. Penyimpangan terbesar dan yang paling sulit untuk dibasmi adalah masalah KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme),  masalah yang seolah-olah sudah menjadi penyakit mendarah daging di  Indonesia ini. KKN dilakukan karena kurang adanya rasa nasionalisme dalam bangsa Indonesia tersebut, dan tidak mengamalkan Pancasila dengan baik dan benar. Sebagai bangsa yang baik harus dapat menentukan mana sesuatu yang baik dan mana yang buruk. Dalam kata lain, tidak boleh melanggar nilai-nilai yang terdapat pada Pancasila. Bangsa yang baik juga harus dapat memisahkan antara kepentingan pribadi dan golongan, dengan kepentingan bersama yakni kepentingan bersama harus didahulukan. Tetapi dalam keseharian, sikap mengutamakan kepentingan bersama sangat susah dan hampir dikatakan mustahil untuk dihapuskan karena masalah pribadi, hubungan pertemanan, relasi, dan hubungan darah merupakan hubungan yang erat dan bahkan dapat mengalahkan rasa nasionalisme terhadap bangsa Indonesia.
Pancasila yang sejak dahulu diciptakan sebagai dasar negara dan sudah sejak nenek moyang kita digunakan sebagai pandangan hidup  sudah seharusnya dijadikan pedoman  bagi bangsa Indonesia dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Demikian juga bagi generasi muda, Pancasila yang mulai kehilangan pamornya di kalangan generasi muda diharapkan akan muncul kembali kejayaannya jika generasi muda mulai sadar dan memahami fungsi Pancasila
serta melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Semangat nasionalisme dan patriotism di kalangan generasi muda mulai menurun. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya generasi muda yang menganggap bahwa budaya barat lebih modern dibanding dengan budaya sendiri. Generasi muda terutama di kalangan mahasiswa pelajar, banyak mengekor budaya barat dari pada budaya sendiri. Hal ini bisa dilihat dari cara bersikap, berpakaian, berbicara sampai pola hidup yang cenderung meniru budaya asing dari pada budayanya sendiri. Hal ini terjadi di hamper seluruh pelosok bukan hanya di klota-kota besar akan tetapi sudah merambah ke pelosok-pelosok desa.
Akhir-akhir ini mulai banyak dibicarakan atau dipertanyakan tentang wawasan kebangsaan generasi muda. Banyak momentum dilakukan, mulai dari seminar, lokakarya sampai kongres Pancasila yang sampai sekarang sudah dilaksanakan sebanyak 4 kali (I –IV). Semua momentum tersebut selalu melibatkan generasi muda sebagi subyek pengembang nilai-nilai Pancasila yang diharapkan dapat memberikan peran dan kontribusinya bukan hanya sekarang tapi juga yang akan datang menjadi aktor dan pelaku dalam pembangunan nasiponal.
Menurut Rajasa (2007), generasi muda mengembangkan karakter nasionalisme melalui tiga proses yaitu :
  1.   Pembangun Karakter (character builder) yaitu generasi muda berperan membangun karakter positifr bangasa melalui kemauan keras, untuk menjunjung nilai-nilai moral serta menginternalisasikannya      pada kehidupan nyata.
  2. Pemberdaya Karakter (character enabler), generasi muda menjadi role model dari pengembangan karakter bangsa yang positif, dengan berinisiatif membangun kesadaran kolektif denhgan kohesivitas tinggi, misalnya menyerukan penyelesaian konflik.
  3. Perekayasa karakter (character engineer) yaitu generasi muda berperan dan berprestasi dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan, serta terlibat dalam proses pembelajaran dalam pengembangan karakter positif banmgsa sesuai dengan perkembangan zaman.

Dari konsep Rajasa tersebut dapat dianalisa bahwa generasi muda sebagai pilar bangsa memiliki peran yang sangat penting. Masa depan bangsa tergantung dari para generasi muda dalam bersikap dan bertindak. Menjunjung nilai-nilai moral   yang   baik   berdasarkan nilai nilai Pancasila     dan     melaksanakan     dalam kehidupan sehari-hari sangat penting dilakukan. Rasa nasionalisme yang harus ditumbuhkan di kalangan generasi muda bukan nasionalisme yang sempit, akan tetapi nasionalisme yang menjunjung tinggi bangsa dan negara sendiri akan tetapi masih menghargai bangsa lain,
Pancasila berperan besar dalam menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotism di kalangan generasi muda. Apapun langkah tindakan yang dilakukan harus selalu didasrakan nilai-nilai Pancasila. Pancasila yang memiliki lima sila yang antara sila satu yang lain saling menjiwai dan dijiwai dan menunjukan satu kesatuan yang utuh, memiliki makna yang sangat dalam untuk menjadi landasan bersikap bertindak dan bertingkah laku. Berbagai tantangan sudah dialamai bangsa Indonesia untuk menggantikan ideologi Pancasila tidak menggoyahkan keyakinan kita bahwa Pancasila yang cocok sebagai dasar negara dan sebagai ideologi sejati di negara Indonesia.
Di era global ini banyak sekali budaya-budaya yang masuk di negara kita, dan kita juga tidak akan bisa mengelak dari masuknya budaya-budaya negara lain. Yang terpenting adalah bagaimana masyarakat Indonesia terutama generasi muda bisa menyaring budaya-budaya asing dan bisa mengambil budaya yang baik dan menyaring yang buruk dan tidak
sesuai  dengan  nilai  dan  norma Pancasila. Kita sebagai masyarakat yang cinta akan bangsa Indonesia harus bisa dan bersikap dengan tegas menolak budaya yang bisa merusak tata nilai budaya nasional.
Pancasila dijadikan acuan para generasi muda dalam bersikap bertindak dan bertutur kata yang sesuai dengan norma Pancasila. Seringkali kita mendengar demonstrasi-demonstrasi yang anarkhis        dilakukan   mahasiswa mengatasnamakan perjuangan atas nama rakyat yang ujung2nya pengrusakan fasilitas-fasilitas pemerintah, membakar mobil dan lain-lain. Juga terjadinya kerusuhan-kerusuhan pertandingan sepak bola yang dilakukan oleh suporter masing- masing kesebelasan yang merasa tidak puas akan kekalahan timnya. Dan juga tawuran pelajar masih juga terjadi di lingkungan masyarakat Indonesia.
Melihat kasus-kasus di atas, sebenarnya ada persamaan pokok permasalahan yang memicu semua kejadian tersebut, yaitu pembelaan apa yang dicintai. Mahasiswa berdemontrasi karena ingin mengubah tatanan yang salah atau ketidak setujuan akan suatu kebijakan yang diemukaqkan oleh pemerintah yang dinilai tidak sesuai dengan rakyat, keadilan, dan lain-lain. Mahasiswa ingin membela rakyat karena cinta pada bangsanya sendiri, sedangkan para suporter   olah   raga  rusuh   dengan alasan ketidakadilan      terhadap      wasit,      dan sebagainya, sehingga timnya kalah, ini wujud cinta pada timnya, membela timnya yang diperlakukan tidak adil oleh wasit. Sedangkan tawuran-tawuran  pelajar, warga dan sejenisnya juga dipicu alasan “membela” apa yang mereka “cintai”.
Seandainya rasa cinta tersebut diungkapkan secara benar maka tidak akan terjadi kerusuhan-kerusuhan yang justru membuat keresahan pada masyarakat. Rasa nasionalisme, cinta pada tanah air juga harus diungkapkan secara benar, sesuai dengan kaidah-kaidah atau norma yang berlaku dalam masyarakat teruitama norma Pancasila. Nasionalisme kita harus sesuai dengan Pancasila sebagai Pandangan hidup dan dasar negara serta ideologi negara, sehingga wujud nasionalisme kita bukan nasionalisme yangt sempit akan tetapi sebagai nasionalisme yang luas. Cinta pada bangsa sendiri tapi masih menghargai bangsa lain. Kita tidak menolak budaya asing akan tetapi juga tidak menerima secara membabi buta budaya asing. Semua budaya yang masuk di negara kita harus biasa di saring dengan menggunakan nilai- nilai Pancasila.
PENUTUP
Sikap nasionalisme bisa di mulai dari hal kecil saja misalnya membuang sampah pada tempatnya. Dari hal yang sangat kecil tersebut dapat diambil keuntungan dengan lingkungan menjadi bersih dan terutama sungai menjadi bersih. Dengan kotornya sungai-sungai yang terdapat di kota-kota besar sekarang sangat menyusahkan bangsa Indonesia, karena persediaan air bersih berkurang dan juga bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Hal lain yang berkaitan dengan nasionalisme adalah mencintai produk Indonesia, membasmi KKN, memperbaiki sistem pendidikan, melakukan tebang pilih tebang tanam, dan lain sebagainya.
Untuk menjadi bangsa yang besar, bangsa Indonesia harus menanamkan sikap nasionalisme sejak dini, sejak kecil, atau sejak masa sekolah dasar. Karena jika sikap       nasionalisme    terlambat diimplementasikan kepada bangsa Indonesia, bangsa Indonesia telah kehilangan generasi muda yang rendah akan sikap nasionalisme. Maka untuk menanggulangi masalah tersebut dan untuk menambah rasa nasionalisme bangsa Indonesia adalah dengan dilatih tentang sikap-sikap yang baik sesuai dengan nilai- nilai dari Pancasila, tidak mengajarkan hal-hal yang melanggar nilai-nilai Pancasila, menanamkan rasa cinta tanah air sejak dini, dan memberi penyuluhan kepada seluruh bangsa Indonesia akan pentingnya nasionalisme terhadap masa depan bangsa Indonesia.
Rasa nasionalisme bangsa Indonesia masih kurang dan belum menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Pengertian tentang nasionalisme juga masih disalahartikan oleh bangsa Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan contoh-contoh diatas. Oleh karena itu, bangsa Indonesia masih perlu meningkatkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air. Karena rasa nasionalisme dan cinta tanah air sangat diperlukan untuk masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik. Memupuk rasa nasionalisme generasi muda bisa dilakukan sejak dini, sehingga lambat laun seiring dengan usia  diharapkan rasa nasionalisme tetap bertahan pada diri bangsa Indonesia. Bisa dimulai dari kelompok terdekat misalnya keluarga, karena dari keluargalah rasa cinta tanah air bisa dilatih sejak dini.

DAFTAR PUSTAKA
Darmiyati, Tri. 2011. “Pengaruh Globalisasi terhadap Nilai-nilai Nasionalisme”. Jakarta.
Kaelan. 2011. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma.
Jamli, Edison, 2005. Kewarganegaraan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Kumpulan Makalah Kongres Pancasila IV. Yogyakarta: UGM.
Surono, ed. 2010. Nasionalisme dan Pembangunan Karakter Bangsa. Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila Press.

Senin, 17 Juni 2019

PENGARUH PERUBAHAN POLITIK TERHADAP RESPON MASYARAKAT DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH


A.  Hakikat Politik
Politik ialah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yan mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu (Surbakti, 1999:11).
            Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa politik merupakan salah satu saran interaksi atau komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat sehingga apapun program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan keinginan-keinginan masyarakat dimana tujuan yang dicita-citakan dapat tercapai dengan baik.
            Pengertian komunikasi kita sederhanakan secara umum sebagai “hubungan” atau kegiatan upaya interaksi antara manusia dengan lembaga dan dapat bersifat langsung atau tidak langsung (melalui perantara/media), bisa bersifat verikal atau horizontal.
11
            Hal itu didukung pula oleh Kantaprawira (2006:31) bahwa komunikasi adalah Suatu proses (proses, reaksi atau interaksi) dan merupakan produk daripada kemampuan manusia/lembaga pelaku yang bersangkutan.Dengan kata lain komunikasi adalah jantug daripada kehidupan manusia dan masyarakat serta merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (masyarakat yang sekaligus pula merupakan “Opinion Nesesitasik”  tuntutan keharusan) kehidupan bermasyarakat. Tanpa proses dan kegiatan ini manusia/kelompok yang bersangkutan akan diberi gelar “apatis dan asosial”. Menurut Isjwara, (1995:42) Politik adalah salah satu perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau sebagai teknik menjalankan kekuasaan-kekuasaan.
Dari pendapat tersebut dapat kita katakana bahwa politik merupakan sebuah sarana memperjuangkan kekuasaan serta mempertahankan kedudukan politik demi tujuan yang ingin dicapai. Menurut Kartono (1996:64) politik dapat diartikan sebagai aktivitas perilaku atau proses yang menggunakan kekuasaan untuk menegakan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang sah berlaku ditengah masyarakat
Dengan demikian aturan-aturan dan keputusan tadi ditetapkan serta dilaksanakan oleh pemerintah ditengah medan sosial yang dipengaruhi oleh kemajemukan/kebhinekaan, perbedaan kontroversi, ketegangan dan koflik oleh karena itu perlu ditegakan tata tertib sehingga tidak akan terjadi perpecahan antar masyarakat.
Lebih lanjut Kantaprawira (2006:31) menjelaskan pengertian politik sebagai segala hal ihwal kehidupan yang menyangkut negara atau tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara maka oleh karenanya segala hal ihwal kehidupan manusia/masyarakat adalah menjadi urusan politik, tidak ada yang tidak mampu untuk tidak berpolitik.
Sebagai perbandingan bersama ini  disajikan pengertian politik dari segi lain yang dikutip dari oleh Pamudji (1998:34) :
Secara etimologis  politik dari bahasa yunani “Polis” yang artinya kira-kira sama dengan kota  (City) atau negara kota (City state) dari Polis tadi timbul istilah lain Polite  artinya warga negara, politicos artinya kewarganegaraan,politike techne artinya kemahiran berpolitik, dan selanjutnya orang-orang Romawi mengambil istilah tersebut dan menamakan pengetahuan tentang negara itu sebagai arspolitica (kemahiran tentang masalah-masalah kenegaraan) 

Dengan demikian jelaslah bahwa politik suatu istilah yang bersangkut paut dengan soal-soal negara dan pemerintahannya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Morgethau (dalam www.docstoc.com) menyatakan “Politics is struggle for power”  sedangkan sarjana Jerman Lare Loewenstein menyatakan “Politiek ist nick anders als der kamf um die Macth” dan orang Belanda menyebutkannya”Strijd om macht”.
Jadi pada hakekatnya politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau masalah-masalah pelaksanaan dan kontrol atas kekuasaan
Ada beberapa definisi mengenai pendidikan politik yang dikutip oleh Kartono, (1996:64) sebagai berikut:
1.      Pendidikan politik adalah pendidikan orang dewasa dengan menyiapkan kader-kader untuk pertarungan politik dan mendapatkan penyelesaian politik agar menang dalam perjuangan politik.
2.      Pendidikan politik adalah upaya edukatif yang intensional, disengaja dan sistematis untuk membentuk individu sadar politik, dan mampu mnejadi pelaku politik yang bertanggung jawab secara etis atau moril dalam mencapai tujuan-tujuan politik.
3.      R. Hayer menyebut : Pendidikan politik ialah usaha membentuk manusia menjadi partisipan yang bertanggung jawab dalam politik.

Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa unsur pendidikan dalam pendidikan poltik itu pada hakekatnya merupakan aktivitas pendidikan diri (mendidik dengan sengaja  diri sendiri) yang terus menerus person, sehingga orang yang bersangkutan lebih mampu memahami dirinya sendiri dan situasi kondisi lingkungan sekitarnya, serta mampu menilai segala sesuatu secara kritis serta mampu menentukan sikap dan cara-cara penanganan permasalahan-permasalahan yang ada ditengah lingkungan hidupnya.
Dengan begitu pendidikan politik merupakan proses belajar bukan hanya menambah informasi dan pengetahuan saja, akan tetapi lebih menekankan kemampuan mawas situsinya secara kritis dan mampu menentukan sikap yang benar serta melatih ketangkasan dalam berbuat.
Inti dari pendidikan politik adalah pemahaman aspek-aspek politik dari setiap permasalahan. Dan pemahaman politik berarti pemahaman konflik.
Adapun menurut Kantaprawira (2006:234), tujuan pendidikan politik adalah:
1.      Membuat rakyat (individu, kelompok, klien, anak didik, warga masyarakat, rakyat dan seterusnya.
·      Mampu memahami situasi sosial- politik penuh konflik
·      Berani bersikap tegas memberikan kritik membangun terhadap kondisi masyarakat yang tidak mantap
·      Aktivitasnya diarahkan pada proses demokratisasi individu/perorangan dan demokratisasi semua lembaga kemasyarakatan serta lembaga Negara
·      Sanggup memperjuangkan kepentingan dan ideologi tertentu. Khususnya yang berkolerasi dengan keamanan dan kesejahtraan  
2.         Memperhatikan dan mengupayakan
·        Peranan insani dari setiap individu sebagai warga negara (melaksanakan realisasi-diri/aktualisasi diri dari dimensi sosialnya)
·        Mengembangkan semua bakat dan kemampuannya (aspek kognitif, wawasan, kritis, sikap positf,keterampilan politik)
·        Agar orang bisa aktif berpartisifasi dalam proses politik, demi pembangunan diri, masyarakat sekitar, bangsa dan Negara

Hal ini memberikan isyarat betapa pentingnya pendidikan politik untuk ditanamkan pada setiap warga negara Indonesia agar memiliki kesadaran politik bangsa. Melalui pendidikan politik diharapkan akan melahirkan warga negara yang demokratis, patuh pada hukum sadar akan kebersamaan dan menghargai nilai kemanusiaan secara beradab.
 Tujuan dan inti daripada pendidikan politik hal ini sesuai dengan isi yang tersirat dalam sila ke 4 Pancasila antara lain membuat rakyat menjadi melek politik atau sadar politik, lebih kreatif dalam partisifasi sosial politik diera pembangunan, sekaligus juga menghumanisasikan masyarakat agar menjadi “Leefbaar” yaitu lebih nyaman dan sejahtera untuk dihuni oleh semua warga masyarakat Indonesia.

B.  Perubahan Politik
1. Pengaruh Perubahan Politik
Menurut Samuel Huntington dalam Abdul Hamid (1991:108) dijelaskan bahwa:
Pada akhir tahun 1960-an analisa perubahan politik menjadi perhatian tersendiri  dalam  karya ilmu politik, terlepas dari kemungkinan bahwa ia ada menggiatkan minat  terhadap perumusan teori-teori yang lebih hubungannya dengan proses proses sosial, ekonomi, kebudayaan dan modernisasi atau perhatian teologis yang mendasari sebagian kegiatan ilmiah dalam ilmu politik.

Dalam rentang waktu satu dasawarsa kemudian fokus utama ilmu politik mengalami perubahan perubahan dalam kajiannya. Mulai dari fokus terhadap sistem politik, analisa terhadap perbandinagan sistem politik modern dan tradisional, kemudian pindah lagi perhatian terhadap proses proses sejarah, bergeser pada konsep-konsep pembangunan politik, dan kemudian kembali lagi kepada tingkat abstraksi yang lebih tinggi yang berorientasi pada teori teori umum tentang perubahan politik.
Fokus utama ilmu politik mengalami perubahan-perubahan dalam kajiannya, sistem politik, analisa terhadap perbandingan sistem politik modern dan tradisional,  kemudian pindah lagi perhatian terhadap proses proses sejarah, bergeser pada konsep-konsep  pembangunan politik, dan kemudian kembali lagi kepada tingkat abstraksi yang lebih tinggi  yang berorientasi pada teori-teori umum tentang perubahan politik Adapun dalam http://repository.usu.ac.id/ teori-teori umum tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, perubahan politik yang terjadi pada setiap taraf pembangunan. Kedua, kerangka kerangka tersebut tidak banyak berkaitan dengan proses modernisasi. Ketiga, variabel yang berhubungan dengan teori sebagian besar  bersifat politik. Keempat, Kerangka-kerangka itu cukup fleksibel untuk menampung  perubahan perubahan politik baik dari lingkungan dalam negeri ataupun lingkungan luar negeri. Kelima, pada umumnya teori-teori itu lebih kompleks dari pada teori teori modernisasi politik dan pembangunan politik.

Samuel Huntington dalam Abdul Hamid dalam Abdul Hamid (1991:119) menjelaskan bahwa, fokus utama perubahan politik adalah hubungan antara partisipasi politik dan pelembagaan politik.  Hubungan diantara kedua unsur tersebutlah yang mempengaruhi stabilitas sistem politik. Hal ini disebabkan karena kadar dari sebuah partisipasi politik yang diberikan oleh suatu masyarakat berkaitan erat terhadap legitimasi yang diperoleh lembaga lembaga politiknya. Apabila partisipasi yang dimaksud dalam bentuk dukungan, maka hal itu menunjukan bahwa kelembagaan politik tersebut memiliki tingkat kepercayaan yang baik. Begitu juga sebaliknya, jika partisipasi politik  tersebut dalam bentuk kritikan, maka kelembagaan politk tersebut tidak mendapat respon yang baik dalam masyarakat.
Selanjutnya, William Mitcheel dalam Nurul Aini (2009:52) mengutarakan bahwa:
Langkah pertama dalam menganalisa perubahan politik adalah dengan terlebih dahulu mengidentifikasikan objek objek yang dipengaruhi oleh perubahan-perubahan tersebut. Dengan kata lain semua unsur-unsur yang ada pada sebuah sistem tersebut harus dikonfigurasikan apakah berkaitan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Tugas itu adalah apa yang merupakan atau yang mungkin merupakan komponen komponen dalam suatu sistem poltik dan menentukan apakah ada hubungan dalam perubahan-perubahan yang terjadi diantara mereka. Dengan begitu, maka pendekatan yang seperti ini dapat di kategorikan sebagai sebuah pendekatan yang memusatkan perhatiannya pada perubahan konvesional.

Selanjutnya Nurul Aini (2009:54) menjelaskan bahwa studi mengenai perubahan politik meliputi beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, merumuskan perhatian pada apa yang agaknya menjadi komponen-komponen pokok suatu sistem politik. Kedua, penentuan laju, ruang lingkup dan arah perubahan dalam komponenkomonen yang telah disebutkan pada poin pertama. Ketiga, melakukan analisa tentang hubungan-hubungan antara perubahan-perubahan dalam suatu komponen dan perubahan-perubahan dalam komponen lain.

Dari ketiga hal diatas dapat dirumuskan bahwa perubahan politik tersebut meliputi segala bentuk aksi dan reaksi dalm sebuah sisitem politik beserta
perubahan-perubahannya.
Selain itu, dalam http://repository.usu.ac.id/ dijelaskan bahwa:
Studi mengenai perubahan politik dapat berkembang dengan  menganalisa kelima  komponen dalam sisitem politik serta perubahan dalam suatu komponen dan perubahan  dalam komponen lainnya. Kelima komponen dalam sistem politik tersebut adalah: kultur, struktur, kelompok, kepemimpinan dan kebijaksanaan. Komponen-komponen  dan unsur-unsur adalah objek perubahan yang terlebih dahuluh harus di pahami jika kita ingin fokus  terhadap perubahan politik.

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa analisa yang mendalam  mengenai keterkaitan akan perubahan yang terdapat pada komponen-komponen tersebut  dalam kaitaanya terhadap perubahan politik yang dimaksud. Analisa mengenai perubahan politik pertama-tama dapat diarahkan pada perubahan- perubahan sederhana mengenai kekuasaan dan unsur-unsur dari sebuah sistem politik. Perubahan yang terjadi mengenai gaya pemerintahan,  sistem pemerintahan yang diterapkan dan segala bentuk lembaga-lembaga politik yang tersinkronisasi dalam sebuah sistem politik. Namun fokus dari perubahan politik bukanlah semata-mata terfokus pada perubahan kekuasaan. Melainkan yang lebih penting adalah permasaalahan hubungan yang ditimbulkan antara perubahan perubahan kekuasaaan masing-masing komponen dan unsur dengan perubahan dalam isinya.
Menurut Nurul Aini (2009:57),  perubahan politik dapat di klasifikasikan berdasarkan dua tingkatan sebagai berikut.
Pertama, Laju ruang lingkup dan arah perubahan sebuah komponen dapat dibandingkan dengan laju dan ruang lingkup komponen lainnya. Sebuah bentuk perbandingan yang demikian dapat menjelaskan pola-pola stabilitas dan kegoncangan dalam sistem politik. Sehingga jangkauan sebuah komponen berhubungan dengan perubahan atau tiadanya perubahan pada komponen lainnya. Misalnya kultur dan suatu sistem politik mungkin bisa dipandang sebagai hal yang lebih penting dibandingkan kelompok, pemimpin dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan. Tingkatan kedua dari analisa perubahan politik adalah perubahan kekuasaan dari suatu unsur dalam sebuah komponen pada suatu sistem dapat dibandingkan denngan unsur-unsur lain dari komponen yang sama. Hal ini dapat meliputi analisa mengenai bangkit redupnya ideologi dan kepercayaan, lembaga dan kelompok, pemimpin dan kebijaksanaan serta unsur-unsur yang terdapat dalam komponen tersebut yang telah mengalami perubahan. Hal ini berarti menyangkut kajian sebuah unsur-unsur tersebut yang bersifat dinamis sehingga harus terus dipantau perubahan-perubahannya. Perubahan Politik dapat disebut sebagai bertambahnya atau berkurangnya gejala gejala politik politik tertentu.

Dari tingkatan-tingkatan perubahan politik tersebut, Nurul Aini (2009:54) menyatakan Perubahan Politik itu sendiri dapat di klasifikasikan menjadi tiga pengertian pokok, yaitu: 
Pertama: Perubahan Politik dapat  didefinisikan sebagai suatu gejala perkembangan politik, yaitu bertambahnya/ semakin  banyaknya gejala-gejala politik yang muncul, Kedua: Perubahan Politik dapat didefinisikan  sebagai suatu gejala kemerosotan politik (regresi politik), yaitu berkurangnya/ hilangnya  gejala-gejala politik tertentu, dan Ketiga: Perubahan Politik juga dapat didefenisikan sebagai suatu gejala kemacetan politik, yaitu suatu keadaan dimana suatu gejala politik tertentu tidak  mengalami perkembangan maupun penurunan.

Dari pemaparan tersebut dapat dismpulkan bahwa pengaruh perubahan politik terlihat dari adanya gejala-gejala politik yang menunjukkan perkembangan maupun penurunan kegiatan dan kebijakan politik dalam suatu Negara yang tentu saja berdampak terhadap tatanan kehidupan bernegara.

2. Objek Perubahan Politik
Secara dinamis, perubahan politik mempunyai objek tertentu yang menjadi fokus kajiannya,  melalui observasi yang dilakukan oleh ilmuwan politik mengenai perubahan politik, sistem nilai politik, struktur kekuasaan, strategi mengenai permasalahan kebijakan umum dan lingkungan masyarakat yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem politik. Perubahan-perubahan politik yang terjadi adalah masalah-masalah pokok dari objek politik dan hal-hal penting yang terkait terhadap perubahan politik.
Sistem nilai politik terdiri dari nilai-nilai sosial, ekonomi, dan budaya yang terkandung didalamnya. Keterkaitan diantara sistem nilai dan sub-sistem nilai adalah hubungan yang saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Dalam sistem nilai politik terkandung tujuan negara dan prioritas pemerintahan, hak-hak warga negara, presepsi mengenai dunia, justifikasi atas hak untuk memerintah, dan aturan main politik.
Sistem nilai politik merupakan sebuah permasalahan yang sangat kompleks karena meliputi keseluruhan dari sub sub sistem yang ada, dan sangat mempengaruhi bentuk objek yang lainnya. Struktur kekuasaan terdiri atas infrastruktur dan suprastruktur dalam setiap proses pengambilan kebijakan. Kekuasaan infrastruktur meliputi lembaga lembaga diluar pemerintahan seperti lembaga lembaga ekonomi, sosial, agama ataupun partai politik (Bukan partai penguasa) dalam hal perannya mempengaruhi kebijakan umum. Kekuasaan suprastruktur meliputi lembaga lembaga pemerintahan beserta proses proses yang ada didalamnya seperti, dimensi kekuasaan, distribusi kekuasaan, pelaksanaan kekuasaan dan intensitas kekuasaan itu sendiri.
Setiap sistem mempunyai cara tersendiri dalam menyikapi permasalahan kebijakan. Sebuah sistem yang dikendalikan oleh kelompok pemerintahan yang kuat tentunya dapat membuat kebijakan yang sifatnya sedikit memaksa dan cenderung condong kepada kepentingan kelompoknya. Hal ini disebabkan karena dominasi kekuasaan pada sebuah sistem telah membuat arah sistem tersebut sesuai dengan kendali yang dilakukan oleh kelompok  penguasa. Sedangkan sebaliknya, apabila sebuah sistem tidak didukung oleh pemerintahan yang kuat, justru akan membuat sistem tersebut semakin rawan akan tekanan-tekanan yang diberikan oleh kelompok oposisi.
Menurut pendapat  Nurul Aini (2009:69) dikemukakan bahwa:
Berdasarkan sistem nilai politik tertentu, dalam kerangka struktur kekuasaan tertentu, dan konteks lingkungan masyarakat tertentu, peran pembuat keputusan harus memilih berbagai alternatif untuk menangani empat permasalah pokok kebijakan. Pertama, untuk mencapai tujuan kebijakan interaksi macam apakah yang terjadi antara kehendak subjektif pemimpin politik dan kondisi objektif? Permasalahan menyangkut kaitan antara kendala struktural dan kultural atas supaya individu mengejar tujuannya pada satu pihak (determinisme), dan  individu mengekspresikan kehendak kuat untuk beberapa aspek kultur dan struktur pada pihak lain (Voluntarisme).  Kedua, dalam upaya mencapai tujuan kebijakan umum, struktur politik apakah yang melaksanakan kekuasaan secara lebih dominan, infrastruktur secara spontan atau justru suprastruktur?  Permasalahan ini menyangkut antara spontanitas atau prakarsa berbagai kelompok sosial dan prakarsa dan intervensi dari lembaga lembaga pemerintah. Ketiga, dalam proses kebijakan seberapa penting dan mendalam konflik yang terjadi antara konflik nilai politik dan struktur kekuasaan? Permasalahan ini  menyangkut konsensus yang diperlukan, atau tingkat konflik yang ditolerir untuk membuat dan  melaksanakan kebijakan umum secara efektif Keempat, Ketika merumuskan dan melaksanakan  kebijakan umum, para pembuat prioritas harus membuat keputusan yang diberikan terhadap perubahan  dan kesinambungan baik dalam sistem nilai politik dan struktur kekuasaan maupun dalam lingkungan  masyarakat dan fisik.

Pada dasarnya objek politik sangat mempengaruhi dan dipengaruhi fisik seperti pertanian, perkebunan, pertambangan, pariwisata, dan tenaga surya. Struktur lapisan masyarakat dipengaruhi oleh objek dari perubahan politik, termasuk dalam lingkungan masyarakat seperti budaya politik, tingkat pendidikan, struktur ekonomi dan komunikasi massa.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya keterkaitan antara objek politik dengan objek-objek lain yang ada dalam sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


3. Perubahan Politik Sebagai Bentuk Perubahan Sosial   
Perubahan politik merupakan salah satu bagian dari gejala perubahan social,  dan akan membawa suatu perubahan pada sebuah sistem sosial dalam sebuah kelompok masyarakat/ negara.
Selanjutnya, Kingsley Davis dalam http://repository.usu.ac.id/ dijelaskan bahwa:
Perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat, karena perubahan tersebut bersinggungan dengan fungsi masyarakat, Davis mengemukakan bahwa perubahan tersebut dapat menyebabkan perubahan dalam organisasi ekonomi maupun politik.

Pendapat lain mengenai perubahan sosial dikemukakan oleh Mac Iver dalam http://repository.usu.ac.id/ yang mendefenisikan perubahan sosial sebagai hubungan dalam perubahan sosial (sosial relations) atau perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) dalam hubungan sosial. Hubungan sosial yang dimaksud merupakan hubungan antar individu ataupun antar kelompok dalam kehidupan bernegara.
Selanjutnya Johnson dalam http://repository.usu.ac.id/ mengatakan perubahan sosial ditandai oleh empat hal penting, yaitu:
Pertama, hilangnya kepercayaan terhadap institusi-institusi sosial yang mapan terutama lembaga lembaga ekonomi dan politik, kedua, otoritas yang terdapat dalam institusi-institusi sosial utama dipertanyakan, ketiga, menurunnya etika tradisional, dan keempat penolakan secara luas terhadap teknokrasi dan berbagai segi organisasi birokrasi. Keempat hal ini lah yang kemudian menjadi gejala-gejala yang menandai terjadinya sebuah proses perubahan sosial.

Jika mengaitkan dengan keberadaan perubahan politik yang pernah terjadi di indonesia yang dipengaruhi oleh keberadaan komunisme, maka apa yang dijelaskan oleh Jhonson tersebut mengarah kepada bagaimana institusi-intitusi sosial yang berhaluan komunis tidak lagi mendapat kepercayaan dari masyarakat dan justru mendapat kecaman keras dari masyarakat itu sendiri. Institusi-intitusi komunis seperti PKI (dalam bidang politik) dan Lekra (dalam bidang sosial) telah dibubarkan oleh pemerintah karena membentuk image negatif terhadap institusi-intitusi tersebut dimata masyarakat. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi-intitusi yang berideologi komunis tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan sosial di Indonesia.
Menurut Mooris Ginsberg dalam Lyman Tower Sargent (1986:125) sebab-sebab terjadinya perubahan sosial adalah sebagai berikut:
a.       Keinginan individu dalam masyarakat untuk secara sadar mengadakan perubahan;
b.      Sikap sikap pribadi yang dipengaruhi oleh kondisi kondisi yang berubah;
c.       Perubahan perubahan struktural dalam bidang sosial, ekonomi dan politik;
d.      Pengaruh eksternal;
e.       Munculnya pribadi pribadi dan kelompok yang menonjol dalam masyarakat (kelas menengah);
f.       Munculnya peristiwa peristiwa tertentu, seperti misalnya kekalahan perang, ataupun kekalahan sebuah  kekuatan politik terhadap kekuatan politik yang lainnya;
g.      Tercapainya konsensus dalam masyarakat untuk meraih suatu tujuan bersama.

Selanjutnya, Lyman Tower Sargent (1986:128) mengemukakan bahwa:
Perubahan sosial juga ada yang sifatnya dikehendaki (intended change) atau perubahan yang direncanakan (planed change) dan perubahan yang tidak dikehendaki (unintended change) atau perubahan yang tidak direncanakan (unplanned change).

Perubahan yang dikehendaki merupakan perubahan yang sebelumnya telah direncanakan dengan baik dan yang menjadi kemauan dari masyarakat. Perubahan yang tidak dikehendaki merupakan perubahan yang terjadi secara spontan dan tidak ada rencana sebelumnya untuk melakukan sebuah perubahan. Masyarakat sebelumnya tidak menyadari  bahwa akan terjadi sebuah perubahan dalam kehidupan mereka.
Dari pemaparan tersebut dapat dipahami bahwa perubahan politik merupakan salah satu bentuk dari sebuah perubahan sosial.  Biasanya sebuah gejala perubahan sosial akan menjadi sebuah faktor bagi terjadinya sebuah perubahan politik. Pembahasan mengenai perubahan sosial sangat dibutukan dalam menganalisa sebuah prubahan politik. Hal ini diperlukan untuk melihat gejala-gejala sosial seperti apa yang mempengaruhi sebuah perubahan sosial yang kemudian menjadi faktor bagi terjadinya sebuah perubahan politik.

C.  Respon Masyarakat
Pada pengamatan berlangsung perangsang-perangsangan. Stimulus berarti rangsangan dan respon berarti tanggapan. Rangsangan diciptakan untuk memunculkan tanggapan. Respon lambat-laun tertanam atau diperkuat melalui percobaan yang berulang-ulang (Djamarah, 2002:23).
Menurut pendekatan perilaku, pada dasarnya tingkah laku adalah respon atas stimulus yang datang. Secara sederhana dapat digambarkan dalam model S-R atau suatu kaitan Stimulus - Respon. Dalam hal ini berarti tingkah laku itu seperti reflek tanpa kerja mental sama sekali. Pendekatan ini dipelopori oleh J.B. Watson kemudian dikembangkan oleh B.F.Skinner dan melahirkan banyak sub-aliran, yaitu:
1.    Pendekatan Kognitif
Pendekatan kognitif menekankan bahwa tingkah laku adalah proses mental, dimana individu (organisme) aktif dalam menangkap, menilai, membandingkan, dan menanggapi stimulus sebelum melakukan reaksi. Individu menerima stimulus lalu melakukan proses mental sebelum memberikan reaksi atas stimulus yang datang.
2.    Pendekatan Psikoanalisa
Pendekatan psikoanalisa dikembangkan oleh Sigmund Freud yang meyakini bahwa kehidupan individu sebagian besar dikuasai oleh alam bawah sadar. Sehingga tingkah laku banyak didasari oleh hal-hal yang tidak disadari, seperti keinginan, impuls, atau dorongan. Keinginan atau dorongan yang ditekan akan tetap hidup dalam alam bawah sadar dan sewaktu-waktu akan menuntut untuk dikeluarkan.
3.    Pendekatan Fenomenologi
Pendekatan fenomenologi ini lebih memperhatikan pada pengalaman subyektif individu karena itu tingkah laku sangat dipengaruhi oleh pandangan individu terhadap diri dan dunianya, konsep tentang dirinya, harga dirinya dan segala hal yang menyangkut kesadaran atau aktualisasi dirinya. Hal ini berarti melihat tingkah laku seseorang selalu dikaitkan dengan fenomena tentang dirinya.
Respon atau tanggapan adalah kesan-kesan yang dialami jika perangsang sudah tidak ada. Jika proses pengamatan sudah berhenti, dan hanya tinggal kesan-kesannya saja, peristiwa sedemikian ini disebut tanggapan. Defenisi tanggapan ialah gambaran ingatan dari pengamatan (B.F. Skinner dalam Kartono, 1994:57). Dalam hal ini untuk mengetahui respon masyarakat dapat dilihat melalui persepsi, sikap dan partisipasi masyarakat. Respon tidak terlepas dari pembahasan persepsi, sikap dan partisipasi masyarakat.
Persepsi menurut Morgan, King dan Robinson adalah suatu proses diterimanya suatu rangsangan (obyek, kualitas, hubungan antar gejala maupun peristiwa) dengan cara melihat dan mendengar dunia disekitar kita. Dengan kata lain persepsi dapat juga didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dialami manusia (Morgan, King dan Robinson dalam Adi, 2000:105).
Persepsi adalah suatu proses yang dimulai dari penglihatan dan pendengaran hingga terbentuk tanggapan yang terjadi pada diri individu sehingga individu sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya (Mahmud, 1990:55). Sedangkan penglihatan dan pendengaran seseorang dapat dilihat melalui dengan cara mencermati, memahami dan menilai segala sesuatu yang terjadi di dalam lingkungan sehingga terbentuk tanggapan dari dirinya.
Fenomena lain yang terpenting dengan persepsi adalah atensi, yaitu suatu proses penyeleksian input yang diproses dalam kaitan dengan pengalaman. Oleh karena itu atensi menjadi bagian yang terpenting dalam proses persepsi, mendasarkan diri pada proses yang disebut filtering atau proses untuk menyaring informasi yang ada pada lingkungan, karena sensori channel kita tidak mungkin memproses semua rangsangan yang berada pada lingkungan kita (Adi, 2000:14).
Hal-hal yang mempengaruhi atensi seseorang dapat dilihat dari faktor internal dan faktor eksternal. Menurut Adi (2000:105) faktor internal dan eksternal tersebut adalah sebagai berikut.
Faktor internal yang mempengaruhi atensi adalah :
1.    Motif dan kebutuhan.
2.    Preparator set, yaitu kesiapan seseorang untuk berespon terhadap suatu input sensori tertentu tetapi tidak pada input yang lain.
3.    Minat (Interest).
Faktor eksternal yang mempengaruhi atensi adalah:
1.         Intensitas dan ukuran. Misalnya makin keras suatu bunyi maka akan semakin menarik perhatian seseorang.
2.         Kontras dengan hal-hal baru.
3.         Pengulangan.
4.         Pergerakan

pembahasan tentang respon tidak lepas dari perubahan konsep sikap. Sikap merupakan kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku tertentu jika menghadapi suatu rangsangan.
Perubahan sikap dapat menggambarkan bagaimana respon seseorang terhadap objek-objek tertentu sepserti perubahan lingkungan atas situasi lain. Seperti yang dikemukakan oleh Adi (2000:178) bahwa sikap yang muncul dapat positif yakni cenderung menyenangi, mendekati, mengharapkan suatu objek, atau muncul sikap negatif yakni menghindari, membenci suatu objek.
Selanjutnya Walgito (1999:110) mengemukakan bahwa sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respon atau berperilaku dalam cara yang tertentu yang dipilihnya.
Menurut Adi (2000:179), ciri-ciri sikap adalah sebagai berikut:
a.         Dalam sikap selalu terdapat hubungan subjek-objek. Tidak ada sikap yang tanpa objek. Objek ini bisa berupa benda, orang, ideologi, nilai-nilai sosial, lembaga masyarakat dan sebagainya.
b.         Sikap tidak dibawa sejak lahir tetapi dipelajari dan dibentuk berdasarkan pengalaman dan latihan.
c.         Karena sikap dapat dipelajari, maka sikap dapat berubah-ubah, meskipun relatif sulit berubah.
d.        Sikap tidak menghilang walau kebutuhan sudah dipenuhi.
e.         Sikap tidak hanya satu macam saja, melainkan sangat beragam sesuai dengan objek yang menjadi pusat perhatiannya.
f.          Dalam sikap tersangkut juga faktor motivasi dan perasaan.

Pendekatan partisipasi bertumpu pada kekuatan masyarakat untk secara aktif berperan serta dalam proses pembangunan secara menyeluruh. Partisipasi aktif masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan memerlukan kesadaran warga masyarakat akan minat dan kepentingan yang sama. Strategi yang biasa diterapkan adalah melalui strategi penyadaran. Untuk berhasilnya program pembangunan desa tersebut, warga masyarakat dituntut untuk terlibat tidak hanya dalam aspek kognitif dan praktis tetapi juga ada keterlibatan emosional pada program tersebut. Hal ini diharapkan dapat memberi kekuatan dan perasaan untuk ikut serta alam gerakan perubahan yang mencakup seluruh bangsa.
Selain persepsi dan sikap, partisipasi juga menjadi hal yang sangat penting bahkan mutlak diperlukan dalam mengukur respon. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara aktif dan terorganisasikan dalam seluruh tahapan pembangunan, sejak tahap sosialisai, persiapan, perencanaan, pelaksanaan, pemahaman, pengendalian, evaluasi sehingga pengembangan atau perluasannya. Seperti yang dikemukakan oleh Suprapto (2007:8) bahwa:
Pendekatan partisipasi bertumpu pada kekuatan masyarakat untuk secara aktif berperan serta dalam proses pembangunan secara menyeluruh. Partisipasi atau keikutsertaan para pelaku dalam masyarakat untuk terlibat dalam proses pembangunan ini akan membawa manfaat dan menciptakan pertumbuhan ekonomi didaerah.

Partisipasi ditinjau dari fungsi yang diambil oleh masyarakat (pelaku) untuk suatu program, fungsi yang dapat diambil oleh masyarakat dalam berpartisipasi sebagaimana diungkapkan Suprapto (2007:1) adalah sebagai berikut.
1)        Berperan serta dalam menikmati hasil pembangunan. Karena semua sudah dikerjakan oleh pihak luar maka masyarakat tinggal menerima berupa hasil pembangunan misalnya gedung sekolah, pos Keluarga Berencana (KB), pembibitan tanaman, masyarakat tinggal menerima bibitnya. Partisipasi ini jelas mudah, namun menikmati belum berarti memelihara.
2)        Berperan serta dalam melaksanakan program pembangunan hal ini terjadi karena pihak luar masyarakat, sudah mengerjakan persiapan, perencanaan, dan menyediakan semua kebutuhan program. Masyarakat tinggal melaksanakan, dan setelah itu baru dapat menikmati hasilnya. Misalnya dalam membangun jalan, masyarakat ikut serta meratakan jalan dan menata/ merapikan batu. Pemagaran rumah, masyarakat tinggal memasang alat-alat/bahan yang sudah disediakan dan lain-lain.
3)        Berperan serta dalam memelihara hasil program. Fungsi ini lebih sulit, apalagi kalau masyarakat tidak terlibat dalam pelaksanaan. Sulit, bukan saja karena tidak mempunyai keterampilan, tetapi yang lebih penting karena mereka merasa tidak memiliki program tersebut. Pada umumnya masyarakat bersedia memelihara satu gedung milik umum di desa jika mereka ikut ambil bagian dalam membangunnya, bahkan ikut menyumbang sebagian bahan. Contoh lain, masyarakat bersedia menanam dan memelihara bibit tanaman dari proyek pembibitan kalau masyarakat ikut berkorban atau berpartisipasi selama pembibitan dipersiapkan dan dilaksanakan.
4)        Berperan serta dalam menilai program. Fungsi ini kadang diambil masyarakat karena diminta oleh penyelenggara program dan masyarakat merasa program tidak sesuai dengan aspirasinya.

Partisipasi memiliki hubungan/ kaitan dengan frekuensi dan kualitas yaitu:
1.      Frekuensi
Kaitan Partisipasi dengan Frekuensi ialah bahwa partisipasi merupakan keterlibatan masyarakat dimana keterlibatan tersebut harus memiliki frekuensi yang baik dan teratur agar masyarakat dapat melaksanakan program pembangunan dengan penuh persiapan, perencanaan, pemahaman dan evaluasi. Contoh: berperan serta dalam bersosialisasi untuk menilai suatu program.
2.      Kualitas
Kaitan partisipasi dengan kualitas ialah bahwa dalam melaksanakan suatu program harus diperlukan sikap yang berkualitas pada masyarakat tersebut dan keterlibatan masyarakat yang bertata laku dengan baik maka mereka akan menjadi terinternalisasi dengan sikap dan nilai pribadi yang kondusif terhadap kualitas. Contoh: berperan serta dalam melaksanakan suatu program.
Hal tersebut dipertegas oleh Isbandi (2007:27) bahwa:
Partisipasi masyarakat mengikutsertakakan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada dimasyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi.

Mikkelsen (1999:64) membagi partisipasi menjadi 6 pengertian yaitu:
1.      Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan.
2.      Partisipasi adalah pemekaan (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan.
3.      Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri.
4.      Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu.
5.      Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial.
6.      Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka.

Jadi definisi partisipasi di atas dapat dibuat kesimpulan bahwa partisipasi adalah keterlibatan aktif dari seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela dalam program pembangunan dan terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan sampai pada tahap evaluasi.
Dalam merespon stimulus, tidak terlepas dari subjek dan objeknya. Subjek merupakan orang yang merespon dan objek merupakan stimulus atau yang akan direspon. Dalam hal ini yang menjadi subjeknya adalah masyarakat sasaran penerima manfaat Raskin dan yang menjadi objeknya adalah program Raskin.
Masyarakat dalam bahasa Inggris adalah Society yang berasal dari kata Socius yang artinya kawan. Hidup dalam masyarakat berarti adanya interaksi sosial dengan orang-orang disekitar dan dengan demikian mengalami pengaruh dan mempengaruhi orang lain. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut sistem adat-istiadat yang bersifat kontiniu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Koentjaraningrat dalam Wahyu (1996:59) menyatakan bahwa masyarakat adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu sistem adat-istiadat yang tertentu. Sedangkan Selo Sumardjan dalam Wahyu (1996:60) menyatakan bahwa masyarakat ialah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan.
Unsur atau ciri masyarakat menurut konsep Horton dan Hunt (dalam dalam Wahyu, 1996:59) adalah:
1.      Kelompok manusia, yang sedikit banyak memiliki kebebasan dan bersifat kekal.
2.      Menempati suatu kawasan.
3.      Memiliki kebudayaan.
4.      Memiliki hubungan dalam kelompok yang bersangkutan.

Sedangkan menurut Fairchild dalam Wahyu (1996:61), unsur atau ciri masyarakat adalah:
1.      Kelompok manusia.
2.      Adanya keterpaduan atau kesatuan diri berlandasakan kepentingan utama.
3.      Adanya pertahanan dan kekekalan diri.
4.      Adanya kesinambungan.
5.      Adanya hubungan yang pelik diantara anggotanya.

Diantara istilah masyarakat yang telah dikemukakan diatas, tidak terdapat perbedaan pendapat tentang ungkapan yang mendasar, justru yang ada mengenai persamaannya. Namun yang utama, menurut Horton, Hunt dan Fairchild dalam Setiadi (2007:80) masyarakat itu merupakan kelompok atau kolektivitas manusia yang melakukan antar hubungan, sedikit banyak bersifat kekal, berlandaskan perhatian dan tumbuh bersama, serta telah melakukan jalinan secara berkesinambungan dalam waktu yang relatif lama dan merupakan suatu sistem hidup bersama dimana mereka menciptakan nilai, norma dan kebudayaan bagi kehidupan mereka.
Dengan akhirnya bahwa masyarakat mengandung pengertian yang sangat luas dan dapat meliputi seluruh umat manusia. Menurut Wahyu (1996:60), masyarakat terdiri dari berbagai kelompok besar maupun kecil tergantung pada jumlah anggotanya. Jadi yang dimaksud dengan respon masyarakat adalah tingkah laku balas atau tindakan masyarakat yang merupakan wujud dari persepsi dan sikap masyarakat terhadap suatu objek yang dapat dilihat melalui proses pemahaman, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak suka serta pemanfaatan terhadap objek tersebut.

D.  Pemilihan Umum
Pemilu merupakan proses kegiatan yang diselenggarakan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang pada gilirannya akan mengendalikan jalannya roda pemerintahan.
Menurut Sanit (1997:85) fungsi pemilu adalah mewujudkan kedaulatan rakyat melalui pemerintahan perwakilan. Sedangkan Juliantara (1998:99) menyatakan bahwa pemilu pada dasarnya merupakan ajang pertemuan dan persetujuan di antara massa-rakyat untuk menentukan wakil-wakil rakyat yang akan duduk di parlemen. Pada hakekatnya pemilu di negara manapun mempunyai esensi yang sama. Selanjutnya Donald (1997:4-5) menyatakan bahwa pemilu berarti rakyat melakukan kegiatan memilih orang atau sekelompok orang menjadi pemimpin rakyat atau pemimpin negara.
Menurut Surbakti (1992:181-182), pada dasarnya ada tiga tujuan pemilu diselenggarakan, yaitu :
1.         Pemilihan umum sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum. Sesuai dengan prinsip demokrasi yang memandang rakyat yang berdaulat, tetapi pelaksanannya dilakukan oleh wakil-wakilnya.
2.         Pemilihan umum juga dapat dikatakan sebagai mekanisme memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat yang terpilih atau melalui partai-partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin.
3.         Pemilihan umum merupakan sarana memobilisasikan dan/atau menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik

Pemilu juga merupakan barometer watak suatu bangsa dalam berpolitik terutama watak pemerintahan dan para kontestan dalam pemilu, tidak hanya sebagai pihak-pihak yang terlibat, tetapi juga sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Di sejumlah negara yang menerapkan atau setidaknya mengklaim diri sebagai negara demokrasi, pemilu memang dianggap sebagai lambang sekaligus tolak ukur utama dan pertama dari demokrasi. Artinya pelaksananan dan hasil pemilu merupakan refleksi dari suasana keterbukaan dan aplikasi dari dasar demokrasi, disamping perlu adanya kebebasan berendapat dan berserikat yang dianggap cerminan pendapat warga negara.
Pemilu memang dianggap akan melahirkan suatu representasi aspirasi rakyat yang tentu saja berhubungan erat dengan legitimasi bagi pemerintah. Dengan melalui pemilu pula, maka klaim bahwa jajaran elite pemerintah bekerja untuk dan atas nama kepentingan rakyat menjadi dapat diakui. Memang pemerintah bukan merupakan hasil langsung pikiran rakyat, melainkan hasil bentukan parlemem.
Namun anggota parlemen yang dipilih lewat pemilu jelas berperan sebagai penyalur aspirasi rakyat yang memilihnya. Keberhasilan pemilihan umum dapat tercapai dengan baik jika diselenggarakan dengan cara-cara yang demokratis dan tidak adanya unsur-unsur kekerasan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah kesadaran masyarakat agar pemilu dapat dilaksanakan dengan jujur dan adil. Pada dasamya pemilu harus pula didukung oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk di dalamnya dukungan dari para tokoh masyarakat dan para ulama.
Dari pemaparan tersebut dapat dipahami bahwa pemilihan umum merupakan suatu kegiatan politik yang ditujukan untuk memilih seseorang untuk memimpin dan menentukan kebijakan bagi suatu komunitas masyarakat, dengan tujuan untuk menciptakan tatanan pemerintahan yang sesuai dengan keinginan masyarakat.